By: Penawali
Jika pajak itu perasaan, mungkin ia sudah menangis di pojokan karena salah paham yang tak kunjung usai. Sejak zaman kolonial hingga era digital, pajak tetap setia seperti mantan yang selalu minta balikan, meski dulu katanya sudah cukup. Tapi uniknya, meski rakyat yang bayar, justru para elit yang berjaya. Inilah ironi kehidupan, di mana pajak ibarat jodoh, sering datang berkali-kali di tempat yang sama, tanpa kepastian kapan perasaan rakyat akan dihargai.
Mari kita bahas satu fenomena unik, yakni satu produk bisa dikenakan pajak hingga lima kali. Ini bukan reinkarnasi dalam kehidupan, tapi reinkarnasi dalam pungutan. Dari pajak pertambahan nilai, pajak barang mewah, bea masuk, pajak penghasilan, hingga retribusi daerah, semua saling berangkulan seperti keluarga besar yang kompak. Sayangnya, kompaknya bukan untuk kesejahteraan rakyat, melainkan untuk memastikan setiap transaksi meninggalkan jejak pajak. Jika ada yang bertanya kenapa dompet rakyat cepat tipis, jawabannya ada di sini.
Namun, semua ini tentu demi kepentingan negara, bukan? Ah, tapi lihatlah APBN kita. Katanya penerimaan pajak terus meningkat, tapi kenapa pertumbuhan ekonomi tetap nyungsep? Ini seperti ban mobil yang terus-menerus dipompa, tapi tetap kempes – pasti ada yang bocor alus. Uang yang seharusnya beredar untuk membangun infrastruktur dan layanan publik malah lebih banyak terserap dalam belanja habis pakai dan cicilan utang. Ternyata, APBN ini tak ubahnya seperti kontrakan tua, yaitu pintunya besar, tapi bocor di mana-mana.
Lalu, kalau rakyat semakin terbebani pajak, siapa yang paling diuntungkan? Ah, tentu saja mereka yang sudah kenyang. *Tax Amnesty? Tax Holiday?* Wah, ini seperti memberi liburan kepada orang yang sudah sering liburan. Para konglomerat cukup lapor dan senyum manis, sementara rakyat kecil yang telat bayar pajak langsung dapat teguran dan ancaman denda. Jika pajak adalah alat negara untuk menciptakan keadilan sosial, maka tampaknya mesin keadilan ini *perlu diservis ulang.*
Belum cukup sampai di situ, utang negara juga menambah sensasi drama keuangan daerah. Bayangkan seorang kepala daerah baru yang ingin membangun, tapi tiba-tiba disambut dengan surat warisan utang dari pendahulunya. Ini seperti baru pindah kos, lalu diberi tahu bahwa tagihan listrik, air, dan WiFi harus dibayar oleh penghuni baru. Akhirnya, uang yang seharusnya untuk program desa malah tersedot untuk melunasi kesalahan masa lalu.
Kalau masih belum cukup menarik, ada lagi wacana kreatif tentang koperasi berbasis dana desa. Sebuah konsep yang menarik, kecuali fakta bahwa dana desa itu bukan dana investasi, melainkan dana pembangunan. Jika dipaksa menjadi skema bisnis, maka desa-desa kita akan berubah menjadi kantong-kantong utang yang sulit terbayar. Bayangkan desa kecil dengan pemandangan sawah nan indah, tapi di baliknya ada tumpukan dokumen kredit macet. Indah dari luar, tapi nyaris bangkrut dari dalam.
Di tengah ketimpangan ini, muncul suara-suara skeptis yang bertanya, “Kalau begini terus, kenapa kita tetap bertahan sebagai negara?” Sebuah pertanyaan yang mungkin terdengar ekstrem, tapi mencerminkan ketidakpercayaan yang semakin mengakar. Narasi tentang perpecahan memang tidak menyelesaikan masalah, tapi ia cukup efektif dalam menunjukkan tingkat frustasi yang terjadi. Jika pemerintah terus gagal memberikan keadilan ekonomi, bukan tidak mungkin suara-suara ini semakin nyaring.
Sementara itu, ada humor satir yang semakin ramai diperbincangkan: Pajak e-Kentut. Entah ini guyonan atau ramalan, tapi jika semua aktivitas ekonomi sudah dikenakan pajak, mungkin tak lama lagi kita harus membayar untuk sesuatu yang sifatnya alamiah. Jika ini benar terjadi, maka manusia bukan lagi makhluk sosial, tapi makhluk fiskal.
Namun, dalam semua kekacauan ini, kita harus tetap bersikap optimis. Bukan optimis bahwa sistem akan segera berubah, tapi optimis bahwa rakyat akan semakin cerdas dalam memahami permainan ini. Jika pajak adalah harga yang harus dibayar untuk peradaban, maka rakyat berhak menuntut layanan yang lebih dari sekadar janji manis.
Lalu, bagaimana solusinya? Ah, itu pertanyaan bagus! Tapi kita tahu, solusi yang logis sering kali tidak laku di meja birokrasi. Yang laku adalah program-program yang terlihat besar, walaupun manfaatnya entah ke mana. Jadi, daripada berharap solusi cepat, mungkin lebih baik kita persiapkan mental untuk kejutan-kejutan fiskal berikutnya.
Akhir kata, jangan terlalu serius. Pajak mungkin menyakitkan, tapi humor adalah bentuk perlawanan paling elegan. Dan seperti kata Gus Dur, “Gitu aja kok repot?” Ya, gitu aja kok repot, kalau uang pajaknya benar-benar kembali ke rakyat. Tapi kalau tidak? Ah, mari kita tunggu pajak apa lagi yang akan muncul di masa depan!(**)
Komentar