Oleh : Afdal Passambo SH
(Pengurus wilayah BPAN Tana Luwu)
Opini – Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Tana Luwu mencanangkan wacana penolakan perizinan pertambangan untuk perguruan tinggi, dengan alasan yang sangat relevan dan mendalam. Penolakan ini, jika ditelaah lebih jauh, bukan hanya soal pertambangan, tetapi juga menyentuh esensi peran perguruan tinggi dalam membentuk masa depan bangsa.
Bagaimana mungkin perguruan tinggi yang seharusnya menjadi pusat pengembangan intelektual dan solusi bagi masalah sosial bisa mendukung aktivitas yang jelas-jelas merusak lingkungan dan membahayakan keberlangsungan hidup masyarakat?
Proses pertambangan membawa dampak ekologis yang tidak bisa dianggap remeh. Kerusakan alam, pencemaran, dan gangguan pada ekosistem adalah efek yang tak terhindarkan. Ini bertentangan dengan misi perguruan tinggi untuk menciptakan inovasi yang berkelanjutan, serta untuk mendidik generasi muda agar dapat berpikir kritis dan solutif terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi dunia.
Tentu saja, kita tidak bisa mengabaikan pentingnya pertambangan sebagai sektor ekonomi. Namun, peran perguruan tinggi dalam hal ini seharusnya bukan untuk menjadi bagian dari industri yang bisa merusak alam, melainkan untuk menjadi agen perubahan sosial kontrol,moral fors,yang mengedepankan kepekaan terhadap persoalan yang terjadi,dan solusi menjaga alam hablulminalalam hubungan antara alam. Kampus harus fokus pada pengembangan intelektual yang mendorong penciptaan teknologi dan sistem yang memudahkan mahasiswa untuk proses penyelesaian atau kajian kebijakan yang dapat meminimalisir dampak negatif dari industri tersebut.
Lebih jauh lagi, kampus seharusnya lebih memprioritaskan isu-isu yang langsung berdampak pada mahasiswa dan masyarakat, seperti pengurangan biaya pendidikan, yang kini semakin membebani banyak pihak. Meringankan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan menciptakan akses pendidikan yang lebih inklusif harus menjadi fokus utama. Pendidikan seharusnya menjadi jalan bagi setiap individu untuk mencapai potensi terbaik mereka, bukan hanya menjadi instrumen yang melahirkan tenaga kerja untuk sektor-sektor yang merusak bumi.
Kampus adalah ladang intelektual yang seharusnya menghasilkan pemikir-pemikir kritis yang dapat melihat jauh ke depan, mengkritisi kebijakan publik, dan menciptakan solusi untuk keberlanjutan alam dan kehidupan. Sudah saatnya perguruan tinggi kembali pada tugas utamanya, yakni mencetak generasi yang tidak hanya terampil, tetapi juga memiliki kesadaran sosial dan lingkungan yang tinggi.
Sebagai kesimpulan, penolakan terhadap perizinan pertambangan di perguruan tinggi adalah langkah yang tepat. Kita perlu memastikan bahwa kampus tetap menjadi episentrum pengetahuan yang kritis dari persoalan yang ada dan mengutamakan kemajuan pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat, bukan tempat yang justru mendukung kegiatan yang dapat merusak alam, mari kita perkuat komitmen perguruan tinggi untuk tetap berfokus pada kualitas pendidikan dan keberlanjutan lingkungan demi masa depan yang lebih baik.
Komentar