Proses berpikir terus mengalami perkembangan yang signifikan hingga membentuk beragam aliran-aliran pemikiran. Dalam tataran praktis, akan ditemukan karakteristik yang menjadi ciri khas dari pemikiran pendidikan Islam yang dipengaruhi oleh teologis. Pengaruh tersebut dapat dilihat dari berbagai indikasi, diantaranya dapat dilihat dari perkembangannya di dalam khazanah pemikiran Islam, tokoh-tokoh yang menjadi pelaku yang berperan signifikan terhadap perkembangan teologis tersebut yang dapat dilacak dan ditemukan di dalam karya-karya monumentalnya. Salah satu aliran pemikiran Islam yang terus eksis berkembang hingga saat ini adalah Syiah.
- Makna Syi’ah sebagai Pemikiran
Syiah berasal dari bahasa Arab Syaa yasyiu syian syiatan yang berarti pendukung atau pembela. Syiah juga bermakna golongan, sebagaimana yang terdapat dalam surah As-Saffat ayat 83.
۞ وَاِنَّمِنْشِيْعَتِهٖ َلَِبْرٰهِيْمَ
Terjemahnya: Dan sungguh, Ibrahim termasuk golongannya (Nuh).
Kata Syi’ah dalam ayat tersebut berarti golongan, yang bermakna Nabi Ibrahim a.s. termasuk golongan Nabi Nuh a.s. dalam keimanan kepada Allah dan pokok-pokok ajaran agama meskipun jarak zaman antara keduanya berjauhan.
Syiah dihubungkan dengan kelompok kaum muslim yang dalam doktrinnya menyatakan bahwa segala petunjuk agama bersumber dari ahl albait (merujuk pada keturunan Nabi Muhammad saw.) dan menolak petunjuk keagamaan dari para sahabat yang bukan ahl al-bait. Mereka meyakini bahwa orang yang paling berhak untuk pertama kali menjadi khalifah setelah wafatnya Rasulullah saw. adalah Sayyidina Ali bin Abi Thalib.
Download file link jurnal di bawah ini
Hal yang menjadi dasar perbedaan Syiah dengan golongan yang lain terletak pada masalah khalifah, yakni umat tidak boleh campur tangan karena masalah khalifah merupakan suatu rukun iman yang telah digariskan nabi selagi beliau hidup.
- Sejarah Munculnya Syiah
Setalah Utsman bin Affan wafat karena terbunuh, Ali bin Abi Thalib kemudian
dibaiat oleh sebagian besar kaum muslim. Namun terdapat sahabat Nabi yang tidak ingin
membaiat Ali, yaitu Zubair dan Talhah. Keduanya menentang Ali dan berkecambuklah
perang Jamal di Irak (656 Masehi) antara pasukan Ali dan pasukan Aisyah. Zubair dan
Talhah gugur dalam pertempuran tersebut. Di samping itu, Gubernur Syam yakni Muawiyah dari bani Umayyah menekan Ali agar mengusut tuntas orang yang membunuh Utsman dan menghukumnya.
Muawiyah bahkan berpikir bahwa Ali turut campur dalam pembunuhan Utsman. Salah satu pemuka pemberontak dari Mesir yang datang ke Madinah dan membunuh Utsman adalah Muhammad bin Abi Bakr yang merupakan anak angkat Ali bin Abi Thalib. Khalifah Ali, yang diminta untuk mengadili para pembunuh Utsman tidak mengambil tindakan apa-apa, malah Muhammad bin Abi Bakr diangkatnya menjadi Gubernur Mesir. Atas ketidakpuasan Muawiyah, terjadilah pertempuran di lembah Shiffin. Pasukan Ali hampir memenangkan pertempuran, setelah agak terdesak Muawiyah menyuruh salah satu tentaranya untuk mengangkat mushaf di atas lembing yang tinggi, sebagai tanda menyerah dan permintaan perdamaian. Beberapa orang dari pasukan Ali merasa tidak puas atas keputusan damai (tahkim) tersebut, sebab mereka merasa pasukan Ali hampir menumpaskan pasukan pemberontak.
Dampak dari peristiwa tahkim ini memunculkan faksi-faksi di tubuh umat Islam menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok Syiah Ali yaitu golongan yang memihak pada Ali dan tetap setia kepadanya. Kedua, kelompok Khawarij yaitu sejumlah pasukan yang menentang Ali dan Muawiyah, mereka berpendapat bahwa tahkim itu menyalahi prinsip agama. Ketiga, kelompok Murjiah yaitu golongan yang menggabungkan diri kepada salah satu pihak dan menyerahkan hukum pertikaian itu kepada Allah semata.
Ketika timbul pertikaian dan peperangan antara Ali dan Muawiyah, barulah kata Syiah muncul sebagai nama kelompok umat Islam. Tetapi bukan hanya pendukung Ali yang disebut Syiah, pendukung Muawiyah pun disebut dengan Syiah yakni terdapat Syiah Ali dan Syiah Muawiyah. Nama tersebut terdapat dalam naskah perjanjian tahkim, diterangkan bahwa apabila orang yang ditentukan dalam pelaksanaan tahkim itu berhalangan, maka diisi dengan orang yang Syiah masing-masing dua kelompok. Pada waktu itu, baik Syiah Ali maupun Muawiyah semuanya beraliran Ahlussunnah, karena Syiah pada waktu hanya berarti pendukung dan pembela. Sementara aqidah dan faham kedua belah pihak sama karena bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah. Sehingga Ali pun memberikan penjelasan bahwa peperangan antara pengikutnya dan pengikut Muawiyah adalah semata-mata berdasarkan ijtihad dan klaim kebenaran antara kedua kelompok yang bertikai tersebut.
Kelompok Syiah Ali pada awalnya merupakan orang-orang yang mengagumi Ali sebagai pribadi dan kedudukan istimewa di sisi Rasulullah. Sebagian sahabat sangat mencintainya dan menganggapnya sebagai sosok yang paling utama sebagai khalifah
daripada yang lainnya. Namun, setelah dua abad berikutnya kecintaan tersebut bergeser manjadi fanatisme buta. Sehingga terdapat perbedaan yang besar dan esensial antara pandangan sahabat terhadap Ali dengan prinsip-prinsip yang dianut oleh kaum syiah dua abad berikutnya.
Kelompok sahabat pecinta Ali tidak dapat disebut syiah dalam artian istilah syiah yang dikenal sekarang. Meskipun mereka mencintai Ali melebihi kecintaan kepada sahabat lainnya, mereka juga membaiat para khalifah yang telah disepakati oleh para sahabat pada waktu itu. Oleh karenya, syiah pada masa sahabat berbeda dengan syiah yang ada pada masa kini
- Tokoh-tokoh Syiah.
A. Mulla Shadra
Muhammad ibn Ibrahim Yahya Qawani Syirazi, sering disebut al-Shadr ad-Din alSyirazi atau mahsyur dengan nama Mulla Shadra. Ia lahir di Fars (Syiraz) Iran Selatan, pada 979 H (1571M) atau 980 H. Karyanya antara lain:
1) Al-Hikmah al-Mutaaliyah fi Asfar al-Aqliyah al-Arbaah (Kebijaksanaan
Trasedental tentang empat perjalanan akal pada jiwa). Terkenal dengan judul Asfar
(perjalanan). Kitab ini hampir memuat semua persoalan yang berkaitan dengan wacana pemikiran dalam Islam, seperti ilmu kalam, filsafat dan tasawuf
2) Al-Mabda wa al-Mahad (permulaan dan pengembalian), berisi tentang metafisik,
kosmologi dan eskatologi.
3)Mafatih al-Ghayb (kunci alam gaib), berkisar doktrin irfan tentang metafisika,
kosmologi, eskatologi, serta memuat banyak rujukan dari al-Quran dan hadis.
B. Imam Khomeini.
Imam Khomeini bernama lengkap Imam Ruhullah al-Musawi al-Khomeini, lahir di kota Khomein pada 20 Jumadil Akhir 1320 H (24 September 1902 M). Selama hidupnya, Khomeini terlibat langsung dalam dunia politik sejak tahun 1960-an melalui kuliah-kuliah yang diberikannya dengan mengkritik pemerintah terutama isu-isu seperti Land Reform dan pengakuan terhadap Israel serta kritiknya terhadap undang-undang (UU) pemilihan dewan lokal tahun 1962. Amerika Serikat terus menerus menekan rezim Syah untuk segera merealisasikan Land Reform karena mereka ingin lebih leluasa mengeruk kekayaan Iran sebanyak-banyaknya.
- Dampak Pemikiran Syiah Terhadap Perkembangan Pendidikan
Sebuah doktrin pemikiran yang berkembang oleh suatu kelompok, pasti akan menimbulkan sebuah dampak yang terlihat dari sisi manapun, terlebih lagi dalam sisi Pendidikan. Pemikiran Syiah yang berporos pada doktrin Imamah, dimana setiap pengikutnya harus mengultus mereka menjadi pemimpin yang berhak diikuti setelah wafatnya Rasulullah saw. Proses Pendidikan yang berkembang di Indonesia sejak kemunculan Syiah, seperti halnya yang terjadi di Bangil, Jawa Timur. Telah menimbulkan banyak persinggungan baik dari ritual-ritual perayaan hingga proses Pendidikan Syiah dan Sunni.
Sebenarnya, ada banyak faktor yang berkontribusi pada konflik sekterian dengan pendidikan, yang pada gilirannya menyebabkan disparitas pendidikan. Siswa saling mengejek dan mengklaim ke Sunnian, dan ada kekakuan dan perang dingin di tingkat kepala sekolah antara sekolah Sunni dan Syiah. Siswa di sekolah dasar Islam secara terang-terangan mengejek dan memusuhi siswa Syiah. Karena eksodus siswa yang bertahap, orang tua penganut Syiah memaksa anak-anak mereka keluar dari sekolah Islam yang bergenre Sunni dan memindahkannya ke sekolah negeri atau sekolah khusus penganut Syiah. Akibatnya, perbedaan semakin meningkat.
Dianggap tidak efektif dalam mengurangi konflik Sunni-Syiah karena peran sekolah sebagai tempat pembentukan sikap. Penguatan yang dilakukan oleh pendidik
hanya terbatas pada portal, yang dapat diakses kembali jika dibuka oleh pengedaran. Dibandingkan dengan larangan normatif, artinya seharusnya memberikan pengetahuan tentang sejarah Sunni dan Syiah, serta pemahaman tentang mereka. Pengetahuan Sunni-Syiah dan ajaran kasih sayang sesama umat Islam harus menjadi bagian dari kurikulum setiap institusi pendidikan yang berafiliasi dengan Sunni dan Syiah. Selain itu, peran pendidik yang tidak bias juga tidak boleh disepelehkan.
Walaupun firqoh tidak diberikan secara frontal kepada siswa, banyak pendidik yang tetap mengutamakan dan menjelekkan firqohnya. Ketika seorang guru memberikan penjelasan tentang salah satu firqoh Islam, pasti akan ada ukuran berat sebelah. Salah satu contohnya adalah ketika seorang guru memberikan penjelasan tentang sejarah kebudayaan Islam kelas VI menggunakan materi Khalifah Ali bin Abi Thalib, di mana dia membahas masalah perselisihan antara Mu’awiyah dan Ali dan Aisyah dan Ali. Ketika materi terkait dengan penganut firqoh lain, seorang pendidik harus tetap rendah hati, sehingga siswa memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang proporsional. Materi yang digunakan dalam pelajaran pendidikan agama Islam harus netral dan menyentuh semua lapisan masyarakat. Ayat-ayat kasih sayang dalam al-Qur’an lebih sering muncul, dan komposisi pemahaman tentang ayat-ayat kasih sayang dan keanekaragaman firqoh Islam membuatnya lebih besar.
Ketika dihadapkan pada konflik sekterian, peran pendidikan agama menjadi sangat penting. Dengan memberikan pemahaman dan pengetahuan serta menginternalisasi nilai-nilai ajaran agama di setiap orang, pendidikan agama harus dapat membantu mengurangi konflik di masyarakat. Menurut Amin Abdullah, pendidikan Islam diharapkan untuk memiliki konsep praktis dan relevan tentang hidup bersama dalam masyarakat terbuka, bukan lagi paradigma yang hanya tahu bagaimana dan apa.44 Pendidikan agama Islam harus beralih dari pembelajaran hanya tentang transfer pengetahuan. Sebaliknya, harus mempelajari realitas masyarakat dengan berbagai perbedaan kultur dan firqoh-firqoh Islam, bekerja sama dengan nilai-nilai alQur’an dan diterapkan dengan meneladani akhlak Rasulullah saw.