OPINI – Dalam konteks masyarakat masa kini, dengan banyaknya permasalahan yang dihadapi mulai dari permasalahan ekonomi, sosial, politik maupun masalah cinta sehingga mereka membutuhkan ruang reflektif, ruang ketenangan, sebagai tempat ternyaman dalam menyelesaikan setiap masalah hidup.
Salah satu tempat ternyaman yang mungkin seringkali dikunjungi masyarakat termasuk pemuda yang hidupnya dalam kegalauan ialah “warung kopi”(warkop). Ya, warung kopi menjadi salah satu sentral kunjungan utama termasuk para pecinta kopi dengan kenikmatan berbagai jenis kopi yang ada di sana.
Menariknya, warung kopi dijadikan sebagai tempat berbagai aktivitas masyarakat khususnya dan pemuda pada umumnya, baik itu dijadikan sebagai tempat diskusi, nonton, sampai dijadikan tempat bermain seperti game, musik, catur, kartu joker, domino dan sebagainya.
Maka dengan demikian, warkop menjadi sebuah ruang publik atau dalam istilah Jurgen Habermas “public sphere “.
Konsep “public sphere” dari Habermas sangat penting dan tentunya menarik didiskusikan dan diaplikasikan jika disandingkan dengan bagaimana aktifitas-aktifitas masyarakat khususnya pemuda yang telah berkunjung ke warkop yang ada di sudut-sudut sepanjang jalan.
Sejarah ruang publik (public sphere) kalau kita lihat, tidak dapat dipisahkan dari kemunculan warung-warung kopi pada era kapitalisme awal pada abad ke 13 di eropa pada saat itu. Warung kopi dapat menjadi ruang publik baru pada waktu itu. Menjadi tempat bagi warga masyarakat yang sedang berproses bertumbuh dari masyarakat feodal ke masyarakat borjuis.
Hubungan antar individu setara, tidak hirarkis, tidak mementingkan status sosial. Dari rakyat biasa sampai pejabat tinggi, dari buruh sampai pemilik modal, semuanya dapat berbaur, bertukar pikiran, saling melempar gagasan, dan saling adu argumentasi. Itulah budaya dialog (diskusi) yang selalu hidup dan kental di warkop eropa kala itu.
Sekarang kita melihat berbagai macam peristiwa atau fenomena-fenomena kejadian yang terjadi di warung kopi. Pemilik warkop beberapa bulan yang lalu di medan tewas ditusuk oleh orang yang tidak dikenal, di aceh juga ada 2 warga dianiaya di warkop, beberapa Hari yang lalu emak-emak mengamuk di sebuah “warkop sahabat” di mamuju dengan membanting Fasilitas-fasilitas yang ada di warkop, dan masih banyak lagi kejadian-kejadian asusila yang tidak memanusiakan di berbagai warkop yang ada di setiap daerah.
Hal demikian, bukan berarti kita langsung menyimpulkan warkop memang benar-benar adalah sumber pemasalahan yang ada, akan tetapi setidaknya kita mengkritisi dan berusaha mengantisipasi kejadian-kejadian agar tidak terulang kembali.
Warkop awalnya dijadikan sebagai tempat membangun persahabatan seperti budaya warkop di inggris kala itu, tetapi sekarang justru menjadi tempat permusuhan, tindakan asusila maupun hal-hal lain yang tidak memanusiakan (dehumanisasi).
Maka dengan itu, salah satu konsep yang memungkinkan untuk memperbaiki suasana warkop sebagai ruang publik dalam teori kritis, menurut jurgen habermas, perlu ada hubungan individu dengan individu yang lain. dari kesadaran individu menuju masyarakat komunikasi.
Hal ini tak lain sebagai kritik habermas dengan pendahulunya di mashab prankfurt, seperti adorno dan hokhaimer yang emansipatoris memakai konsep kritik atas Hegelian, kritik atas Freudian maupun kritik atas marxian dengan kerangka metafisikanya , sehingga mengalami kebingungan dalam menghadapi masalah masyakat modern pada saat itu. Awalnya dianggap solutif tapi justru menghasilkan masalah baru. Bagi Habermas, kritik itu bukan lagi kritik atas pemikiran para filsuf, tapi langsung kritik empiris kondisi masyarakat (selanjutnya-baca pemikiran mashab frankfurt).
Bagi habermas, manusia individu ketika di ruang publik, bukan lagi membawa kepentingan ideologi karna ideologi akan membawa kita kearah yang represif, prontal, merasa benar sendiri dengan hasrat ego yang begitu kuat melekat dalam diri manusia (kritik ideologi komunis, uni-soviet). Menurutnya, harus ada kepentingan nilai yang membawa masyarakat kearah yang lebih baik dan humanis.
Dengan menciptakan masyarakat yang humanis, habermas mempertegas dan menawarkan sebuah konsep dengan istilah “Paradigma Komunikatif” , yang dimana inidividu-individu harus sadar dan merefleksikan dirinya, dengan sebuah dialog komunikasi dengan yang lain, agar tercipta masyarakat yang harmonis, damai, setara, serta demokratis tanpa ada diskriminasi.
Masyarakat terkhusus kaum pemuda sebagai generasi Z , Sepertinya perlu terus mendorong dan menjadikan warkop sebagai tempat seduhan kopi nikmat dimana budaya dialog, tempat menumbuhkan ide, membangun keakraban hubungan emosional dengan yang lain, sehingga rasa persahabatan-persaudaraan itu tetap bertumbuh di sana. Bukan malah sebaliknya, warkop dijadikan tempat-tempat bertumbuhnya maksiat seperti judi, permusuhan, sampai tempat pemecah-belah antar sesama umat Manusia.
catatan:
Tulisan sepenuhnya tanggungjawab penulis