Penjual Buku di Ruang Sempit

Opini256 Dilihat

“Selaku penulis saya ini generalis, bukan spesialis. Saya menulis ihwal apa saja yang lewat di depan mata. Persis tukang loak yang menjual apa saja yang bisa di pikul”. Mahbub Djunaidi

OPINI – Tepat sekitar 3 tahun silam saya pernah berkunjung ke sebuah pasar sentral yang terletak di kota Palopo, saya diajak salah seorang kawan untuk mencari sebuah buku bacaan sebagai inventaris pribadi, di sudut terminal angkutan bus kami menemukan sebuah toko tua yang terlihat lusuh, namun siapa sangka, toko tersebut menjual berbagai macam buku bacaan. Penempatan buku yang dijualnya pun tidak tersusun begitu rapi, namun saya melihat bagaimana sang pemilik toko menikmati kondisi tersebut.

Di sela sela mencari buku yang dianggap pas sebagai bahan bacaan, kawan saya itu sesekali mengajukan beberapa pertanyaan, berapa lama miki’ disini?, kenapa ki’ memilih jual buku?, darimana ini buku kita jual?. Semua pertanyaan teman saya selalu dijawab dengan nada datar, bibir tersenyum, sambil merapikan buku yang berserakan.

Pemilik toko buku adalah orang tua, kira-kira berumur 60 tahunan lah, meski demikian saya iri dengan perawakan beliau yang sederhana namun di sela-sela menjual buku, aktifitas baca beliau tetap jalan.

Saya sempat menyinggung di awal tulisan yang terbit, bahwa aktifitas menulis yang hebat pasti lahir dari aktifitas baca yang hebat. Namun, saya menyesal tidak sempat menanyakan ke penjual buku itu, apakah dia menulis, atau hanya sekedar membaca saja.

Selepas dari kunjungan kami itu, kami tidak pernah lagi melakukan kunjungan untuk mencari buku di toko itu, hingga akhirnya awal Januari 2024 saya kembali berinisiatif untuk melakukan kunjungan ke toko itu. Nahasnya, saya tidak lagi menemukan toko maupun penjual buku itu di tempat itu.

Akhirnya, kamis sore di awal Januari tersebut saya mencoba berkeliling kota untuk mencari buku yang memuat judul sejarah negara bangsa, demi melunasi tunggakan perpustakaan saya di kampus, saya berkeliling kota untuk mencari keberadaan penjual buku, namun tidak menemukan satupun adanya toko buku, saya sempat mengirim pesan WhatsApp ke salah penjual buku yang katanya beralamat di kota palopo, namun hingga tulisan ini terbit pesan itu tak kunjung di balas.

Setiap sudut-sudut kota yang saya lalui tak luput dari pandangan mata, saya sigap betul melihat tulisan-tulisan yang terpajang di dinding-dinding rumah, mencari cari keberadaan toko buku tersebut.

Karena lama berkeliling namun tak kunjung menemukan toko buku, akhirnya saya bertanya lewat pesan WhatsApp kepada salah seorang teman, saya beruntung, pesan tersebut di balas sambil menunjukkan lokasi tempat toko buku, tepat di samping toko baru kota Palopo, ada toko buku Gramedia, posisinya di apit berbagai bangunan, tokonya sederhana, sehingga perlu konsentrasi untuk mencari toko buku tersebut, karena saya sendiri berkeliling sebanyak tiga kali baru kemudian menemukan toko tersebut.

Saya pun lalu memasuki toko tersebut dan menemui susunan buku yang sudah di atur sedemikian rapi, seperti saat di perpustakaan kampus maupun lainnya, semua buku berada di posisi sesuai dengan kategorinya masing-masing. Meski tempatnya tidak begitu luas namun pasangan suami istri yang punya toko tersebut terlihat nyaman tinggal bersama dengan buku-buku tersebut.

Mereka tidak lagi muda, tidak akan muda, namun masih memiliki semangat layaknya anak muda untuk terus bersentuhan dengan buku-buku, meski menjual buku bagian dari mata pencaharian mereka, namun saya menganggap mereka punya inventasi besar dalam kemajuan literasi, lantas kita, sudah sampai dimana? Sudahkah membaca hari ini? Sudahkah menulis hari ini, semua itu bisa di jawab pada diri pembaca sekalian.

Saya sampai berfikir, kok bisa toko buku yang kecil itu berada di kota yang cukup besar, saya tidak tau persis alasannya apa, apakah nyaman dengan kondisi tersebut, atau bagaimana, namun tak jarang memang kita temui kerja-kerja literasi berada di ruang-ruang sederhana.

Saya bersyukur bisa bertemu dengan mereka, bisa merefleksi perjalanan, serta merangsang aktifitas menulis saya, sesuai dengan ungkapan mahbub Djunaidi di awal tulisan ini.

Komentar