Lapandoso, Jejak Awal Islam di Tana Luwu yang Terlupakan

Opini867 Dilihat

Oleh: Dicky

OPINI – Lapandoso, sebuah situs bersejarah penting di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, menjadi saksi bisu masuknya Islam di Tana Luwu pada awal abad ke-17. Sayangnya, kondisi situs ini kini sangat memprihatinkan, nyaris luput dari perhatian pemerintah dan publik.

Pada tahun 1603 Masehi, tiga tokoh penting dari Minangkabau, Sumatera Barat, yaitu Datuk Sulaiman, Datuk ri Bandang, dan Datuk ri Tiro, tiba di pesisir Luwu dengan perahu layar. Mereka mendarat di muara yang kini dikenal dengan nama Lapandoso, sebuah nama yang dalam bahasa Luwu berarti pancang atau tongkat penambat perahu. Di sinilah titik awal penyebaran Islam di wilayah Luwu Raya dimulai.

Raja Luwu ke-15, La Patiware, menerima ajaran Islam dari para datuk tersebut, dan dakwah dilanjutkan oleh putranya, Pati Pasaung, yang kemudian berganti nama menjadi Sultan Abdullah setelah memeluk Islam. Sejak saat itu, Islam berkembang pesat di Tana Luwu dan menjadi pondasi peradaban yang diwariskan hingga kini.

Namun, ironisnya, situs Lapandoso yang begitu bersejarah tidak mendapatkan perhatian yang layak. Berlokasi di Dusun Muladimeng, Desa Pabbaresseng, Kecamatan Bua, Kabupaten Luwu, monumen Lapandoso saat ini hanya berupa bangunan kecil berukuran 2×2 meter dengan tiang setinggi 136 sentimeter di tengahnya. Kondisinya memprihatinkan—akses jalan rusak, tidak ada papan informasi yang memadai, dan minimnya fasilitas penunjang wisata sejarah.

Mengapa situs sepenting ini dibiarkan terbengkalai? Minimnya kepedulian pemerintah daerah dan kurangnya inisiatif dari Dinas Pariwisata menjadi penyebab utama. Padahal, situs ini bukan sekadar monumen, melainkan simbol awal peradaban Islam di Tana Luwu.

Pelestarian situs Lapandoso semestinya menjadi prioritas, bukan hanya sebagai bagian dari pelestarian sejarah lokal, tetapi juga sebagai daya tarik wisata budaya dan edukasi generasi muda. Pemerintah daerah, khususnya Dinas Pariwisata Kabupaten Luwu, harus segera mengambil langkah konkret: memperbaiki akses infrastruktur, memperjelas narasi sejarah melalui infografik edukatif, dan membangun kawasan wisata sejarah yang layak.

Melupakan sejarah berarti memutus mata rantai jati diri. Lapandoso bukan hanya milik masa lalu, tapi juga warisan untuk masa depan. Sudah saatnya kita bersatu menjaga dan melestarikannya.

Komentar