Harapan dan Tantangan Profesi Guru di Era Digital

Opini727 Dilihat

Oleh: Muhadir Azis

OPINI: Peringatan Hari Guru setiap tahun selalu dirayakan dengan penuh syukur dan penghargaan. Namun di balik ucapan terima kasih, terdapat ruang refleksi yang tidak boleh diabaikan: bagaimana sebenarnya profesi guru bertahan, beradaptasi, dan berkembang di tengah perubahan zaman yang bergerak begitu cepat? Era digital telah mengubah wajah pendidikan secara menyeluruh.

Teknologi membawa peluang yang sebelumnya tidak terbayangkan, tetapi juga menimbulkan tuntutan baru yang jauh lebih kompleks. Karena itu, “kado” terbaik bagi guru hari ini bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan terciptanya ekosistem pendidikan yang benar-benar mendukung mereka untuk tumbuh, berdaya, dan dihargai secara layak.

Transformasi Digital: Antara Janji dan Realitas

Digitalisasi pendidikan di Indonesia mengalami percepatan signifikan setelah pandemi. Pembelajaran daring, hybrid learning, dan penggunaan platform digital menjadi praktik umum di berbagai tingkat sekolah. Data Kemendikbudristek (2023) menunjukkan bahwa lebih dari 85% sekolah telah memanfaatkan platform digital seperti Merdeka Mengajar. Namun, tingginya angka penggunaan platform tidak serta-merta menggambarkan kesiapan kompetensi guru.

Survei UNESCO (2022) mengungkap bahwa sekitar 60% guru di Indonesia masih merasa kesulitan mengintegrasikan teknologi dalam pembelajaran. Fakta ini menegaskan adanya kesenjangan antara ketersediaan teknologi dan kemampuan menggunakannya. Teknologi yang seharusnya memudahkan, justru dapat menjadi sumber tekanan baru jika tidak didukung peningkatan kapasitas secara sistematis.

Peluang Pembelajaran yang Lebih Adaptif

Meski demikian, era digital membuka peluang luas untuk menciptakan pembelajaran yang jauh lebih personal dan fleksibel. Teknologi memungkinkan guru merancang strategi belajar berbasis kebutuhan siswa melalui platform adaptive learning, data analitik, dan sumber belajar global. Peran guru pun bergeser dari “penyampai materi” menjadi fasilitator yang merancang pengalaman belajar bermakna.

Perubahan paradigma ini memberi ruang kreativitas yang jauh lebih besar bagi guru dalam menciptakan pembelajaran yang relevan dan kontekstual.

Tantangan Serius yang Tidak Bisa Diabaikan

Namun, optimisme tersebut harus berjalan berdampingan dengan kesadaran akan tantangan nyata yang dihadapi guru.

Pertama, kesenjangan digital masih menjadi hambatan mendasar.

Data BPS (2024) menunjukkan bahwa baru 68% sekolah memiliki akses internet yang memadai, dengan ketimpangan terbesar di Indonesia bagian Timur. Tanpa pemerataan infrastruktur, digitalisasi hanya akan menjadi jargon yang tidak berdampak nyata bagi siswa di wilayah 3T.

Kedua, beban administratif guru meningkat secara signifikan.

Hasil penelitian Pusat Penelitian Kebijakan Kemendikbud (2023) memperlihatkan bahwa guru menghabiskan tambahan 5–7 jam per minggu hanya untuk pengisian data digital dan penyesuaian administrasi pembelajaran. Alih-alih menyederhanakan kerja, digitalisasi justru seringkali memperbanyak prosedur tanpa mengurangi beban birokrasi.

Ketiga, kemampuan pedagogi digital masih belum merata.

Sebagian guru sudah mahir menggunakan aplikasi, namun belum banyak yang menguasai pedagogi digital seperti asesmen berbasis AI, project-based learning digital, hingga pemanfaatan data perkembangan siswa. Tanpa kompetensi ini, teknologi hanya menjadi alat pelengkap, bukan pendorong transformasi pendidikan.
Keempat, tekanan psikososial semakin terasa.

Tuntutan publik agar guru semakin kreatif di media sosial serta ekspektasi untuk tampil sebagai “influencer pendidikan” membuat banyak guru mengalami stres. Survei IDEAS (2024) mencatat bahwa sekitar 57% guru merasa tertekan dengan tuntutan digital yang semakin tinggi, terutama di kalangan guru senior.

Kado Terbaik: Ekosistem yang Berpihak pada Guru.

Dalam konteks Hari Guru, penting memastikan bahwa digitalisasi pendidikan tidak membuat guru semakin terpinggirkan. Kado terbaik bagi guru adalah kebijakan yang berpihak pada peningkatan kapasitas, penyederhanaan beban kerja, dan pemerataan akses teknologi. Program Merdeka Belajar, Guru Penggerak, dan pelatihan literasi digital merupakan langkah maju. Namun efektivitas program tersebut hanya akan tampak jika implementasi dilakukan secara berkelanjutan, terukur, dan benar-benar menjawab kebutuhan guru di lapangan.
Pelatihan harus lebih dari sekadar seminar satu arah; harus memberikan pendampingan jangka panjang. Platform digital harus merampingkan beban administrasi, bukan menambah daftar tugas. Dan infrastruktur pendidikan harus merata agar tidak ada guru dan siswa yang tertinggal.

Ketangguhan Guru dalam Arus Disrupsi
Di tengah segala keterbatasan, guru Indonesia tetap menunjukkan ketangguhan. Banyak yang berinovasi dengan mengembangkan kanal edukasi digital, memanfaatkan AI untuk asesmen cepat, atau menciptakan kelas virtual yang inspiratif. Mereka membuktikan bahwa profesi guru tetap relevan, dan perubahan zaman tidak pernah mengurangi nilai pentingnya.

Nilai Islam sebagai Pondasi Akhlak Pendidikan

Dalam pandangan Islam, guru memiliki kedudukan sangat mulia sebagai penjaga ilmu dan pembentuk akhlak. Allah meninggikan derajat orang-orang berilmu dan mereka yang mengajarkannya. Karena itu, transformasi digital tidak boleh menjauhkan guru dari misi utamanya: membimbing akhlak, menanamkan karakter, dan menjaga integritas moral generasi. Justru di era serba cepat ini, keteladanan guru menjadi benteng moral di tengah derasnya arus informasi yang sering tanpa filter.

Hari Guru adalah momentum untuk memperkuat komitmen bersama dalam memuliakan profesi pendidik. Teknologi mungkin mengubah cara belajar, tetapi tidak akan pernah menggantikan sentuhan manusia yang diberikan guru. Digitalisasi hanyalah alat; guru tetaplah penggerak utama peradaban di kelas, di ruang digital, dan dalam ingatan generasi yang mereka bentuk.

Komentar