Oleh: Muhadir Azis
(Dosen UIN PALOPO)
OPINI :Dalam satu dekade terakhir, perkembangan teknologi digital telah membawa transformasi luar biasa dalam berbagai aspek kehidupan. Gadget seperti smartphone dan tablet kini tidak hanya menjadi alat bantu kerja, tetapi juga teman setia di sela-sela aktivitas keluarga. Namun, di balik manfaatnya, muncul kekhawatiran serius: gadget justru merenggangkan komunikasi antarkeluarga dan berpotensi menurunkan kualitas pendidikan, terutama pada anak-anak dan pasangan.
Ketergantungan yang Terjadi Tanpa Disadari
Fenomena ini sering kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Seorang ayah pulang kerja dengan mata terpaku ke layar ponsel, seorang ibu menghabiskan waktu lebih banyak scrolling media sosial daripada berdialog dengan anak, dan anak-anak yang sibuk bermain gim mobile daripada membaca atau belajar. Dalam satu rumah, komunikasi verbal menjadi barang langka.
Sebuah studi yang dirilis oleh Pew Research Center (2023) menyatakan bahwa 56% orang tua di Amerika Serikat merasa bahwa gadget mengganggu interaksi mereka dengan anak. Di Indonesia, data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2022) menunjukkan bahwa anak-anak usia 5–17 tahun menghabiskan rata-rata lebih dari 4 jam sehari menggunakan gadget, di luar jam belajar.
Komunikasi yang Menjadi Korban
Komunikasi dalam keluarga bukan sekadar bertukar kata, tapi ruang untuk menanamkan nilai, membangun ikatan emosional, dan mendidik secara informal. Ketika perhatian terpecah oleh notifikasi WhatsApp atau Instagram, ruang-ruang kecil untuk percakapan hangat mulai hilang. Akibatnya, keterhubungan emosional pun memudar.
Penelitian dari University of Michigan (2022) menyebut istilah “technoference”, yakni gangguan hubungan interpersonal akibat penggunaan teknologi digital. Studi tersebut menunjukkan bahwa interaksi digital yang berlebihan menurunkan kualitas komunikasi pasangan, memicu konflik, bahkan memperbesar risiko perceraian.
Pendidikan Anak yang Terabaikan
Tak hanya komunikasi, dampak serius juga terlihat pada aspek pendidikan anak. Gadget memang dapat menjadi alat bantu pembelajaran. Namun tanpa kontrol dan pendampingan, fungsinya cepat beralih menjadi hiburan pasif. Anak-anak kehilangan minat terhadap proses belajar yang membutuhkan fokus dan disiplin.
Sebuah riset oleh UNESCO (2023) memperingatkan bahwa penggunaan gadget yang tidak terarah dapat menurunkan kemampuan kognitif, fokus, dan literasi baca-tulis anak. Ketika anak lebih akrab dengan konten singkat di TikTok daripada bacaan mendalam, maka kita patut waspada terhadap masa depan kualitas pendidikan generasi ini.
Tanggung Jawab Orang Tua dan Perlu Regulasi Keluarga
Orang tua memiliki peran sentral dalam menyikapi persoalan ini. Gadget bukan musuh, tetapi harus diposisikan sebagai alat, bukan pusat perhatian. Dibutuhkan regulasi dalam rumah tangga, seperti waktu bebas gadget (gadget-free hour), interaksi keluarga tanpa layar saat makan atau menjelang tidur, serta penggunaan parental control untuk memfilter konten.
Lebih jauh lagi, keteladanan orang tua dalam menggunakan teknologi menjadi penting. Tak bisa diharapkan anak berhenti bermain gawai jika ayah-ibunya pun terus menunduk menatap layar sepanjang waktu.
Bijak Bukan Melarang, Tapi Mengarahkan
Kemajuan teknologi tak dapat dibendung. Tetapi nilai-nilai dasar seperti komunikasi, pendidikan, dan kedekatan emosional dalam keluarga harus tetap dijaga. Membiarkan gadget mengambil alih fungsi-fungsi itu sama saja dengan membiarkan generasi masa depan tumbuh dalam keterasingan dan kebingungan nilai.
Sudah saatnya setiap keluarga melakukan refleksi dan reposisi terhadap teknologi dalam rumah. Karena pada akhirnya, bukan seberapa canggih gadget yang kita miliki, tapi seberapa hangat rumah yang kita bangun di tengahnya.
Komentar