Jakarta — Selat Hormuz kembali menjadi sorotan dunia setelah muncul berbagai fakta mengejutkan terkait peran strategisnya sebagai jalur vital distribusi minyak global. Terletak di antara Iran dan Oman, selat sempit ini menghubungkan Teluk Persia dengan Laut Arab dan menjadi rute pelayaran utama bagi lebih dari 20% pasokan minyak dunia.
Dalam kondisi normal, lebih dari 17 juta barel minyak mentah melewati Selat Hormuz setiap harinya. Artinya, satu dari setiap lima barel minyak yang diperdagangkan secara global melewati wilayah ini. Fakta ini menjadikan Selat Hormuz sebagai titik chokepoint paling kritis dalam rantai pasokan energi dunia.
Namun, ketegangan geopolitik di kawasan tersebut kerap kali memicu kekhawatiran global. Dalam beberapa dekade terakhir, selat ini menjadi ajang unjuk kekuatan militer antara Iran dan negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat. Insiden penangkapan kapal tanker, ancaman penutupan jalur pelayaran, hingga latihan militer besar-besaran semakin meningkatkan risiko terhadap keamanan energi internasional.
Salah satu fakta mengejutkan yang terungkap baru-baru ini adalah meningkatnya aktivitas patroli militer di wilayah selat. Menurut laporan keamanan maritim internasional, frekuensi intersepsi kapal meningkat signifikan dalam tiga bulan terakhir, memicu lonjakan premi asuransi pengiriman dan memengaruhi harga minyak global.
Pengamat energi dan geopolitik menyatakan bahwa stabilitas di Selat Hormuz sangat menentukan dinamika pasar energi global. Ketergantungan negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, India, dan China terhadap minyak Timur Tengah membuat Selat Hormuz menjadi titik rawan yang bisa memicu gejolak ekonomi global jika terganggu.
Mengingat sensitivitasnya, berbagai negara kini memperkuat diplomasi dan kerja sama militer demi menjaga kelancaran distribusi energi di kawasan tersebut. Dalam situasi dunia yang semakin multipolar, Selat Hormuz bukan sekadar jalur laut, tetapi medan strategis yang bisa menentukan arah politik energi dunia.








Komentar