Yang Cerdas Mayoritas, Yang Kaya Minoritas: Menyoal Rangkap Jabatan Wakil Menteri sebagai Komisaris BUMN

Opini88 Dilihat

‎Oleh : M Iqbal Farochi

(Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negri Jakarta)

‎OPINI: Fenomena rangkap jabatan wakil menteri sebagai komisaris di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kembali menjadi sorotan. Berita yang mengemuka menyebutkan beberapa wakil menteri Kabinet Merah Putih kini menduduki posisi strategis di anak usaha BUMN, seperti Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno di PT Pertamina International Shipping (PIS), Wakil Menteri Pemuda dan Olahraga (Wamenpora) Taufik Hidayat di PT PLN Energi Primer Indonesia (PLN EPI), Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Stella Christie di PT Pertamina Hulu Energi (PHE), dan Wakil Menteri Koperasi Ferry Juliantono di PT Pertamina Patra Niaga.

‎Secara hukum, praktik ini diklaim tidak melanggar regulasi. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara memang melarang menteri merangkap jabatan komisaris atau direksi perusahaan negara/swasta, namun tidak ada larangan eksplisit untuk wakil menteri. Pun demikian dengan Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-10/MBU/10/2020 dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 80 Tahun 2019 yang dipertegas oleh Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi. Larangan rangkap jabatan disebut hanya berlaku bagi menteri dan pejabat setingkat anggota kabinet.

‎Namun, di sinilah kejanggalan itu muncul. Ketika secara legal diperbolehkan, pertanyaannya adalah: apakah ini etis dan adil? Di tengah kondisi ekonomi yang menuntut efisiensi dan profesionalisme tinggi dari aparatur negara, rangkap jabatan semacam ini berpotensi menimbulkan benturan kepentingan yang tidak terlihat. Fokus seorang wakil menteri seharusnya sepenuhnya tercurah pada tugas-tugas pemerintahan yang krusial, bukan terpecah dengan tanggung jawab di korporasi negara.

‎Judul “Yang Cerdas Mayoritas Yang Kaya Minoritas” relevan dalam konteks ini. Mayoritas masyarakat, termasuk para profesional cerdas di berbagai bidang, berjuang mencari pekerjaan dan penghidupan yang layak, seringkali tanpa akses ke posisi-posisi ganda yang menguntungkan. Sementara itu, segelintir individu yang telah menduduki posisi kekuasaan tertentu, bisa menambah pundi-pundi kekayaan melalui rangkap jabatan. Ini menciptakan kesan bahwa kesempatan dan kemakmuran lebih mudah diraih oleh “minoritas” yang memiliki akses ke lingkaran kekuasaan, bukan berdasarkan meritokrasi yang adil bagi “mayoritas” yang mungkin sama atau bahkan lebih cerdas dan kompeten.

‎Meskipun secara hukum tidak ada larangan, praktik rangkap jabatan wakil menteri ini mencerminkan celah dalam sistem regulasi yang perlu dievaluasi ulang. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci untuk membangun kepercayaan publik. Pemerintah harus mempertimbangkan dampak persepsi ini terhadap citra birokrasi dan komitmen terhadap tata kelola yang baik. Apalagi, semangat reformasi birokrasi seharusnya mendorong pejabat publik untuk fokus pada pelayanan dan pembangunan, bukan pada akumulasi jabatan dan potensi keuntungan pribadi.

‎Oleh karena itu, meskipun dibenarkan secara hukum, rangkap jabatan wakil menteri sebagai komisaris BUMN tetap menjadi pertanyaan besar tentang etika, efektivitas, dan keadilan dalam sistem pemerintahan kita. Ini adalah pembahasan yang menarik tentang bagaimana ketentuan legal belum tentu sejalan dengan aspirasi publik akan kesetaraan dan profesionalisme.

Komentar