Tafsir di Era Digital: Antara Kemudahan Akses dan Ancaman Simplifikasi Makna

Opini583 Dilihat

Penulis: Dr. Eneng Nurhayati, S.Ag.,M.A

(Dosen Program Studi Manajemen Pendidikan Islam, Fakultas Agama Islam, Universitas Pamulang)

Tidak dapat disangkal, era digital telah mengubah hampir setiap aspek kehidupan, termasuk cara kita memahami dan mempelajari agama. Dalam konteks Islam, kemudahan mengakses tafsir Al-Qur’an adalah salah satu dampak paling nyata. Hanya dengan beberapa ketukan di ponsel, umat Muslim kini dapat menjelajahi puluhan, bahkan ratusan, kitab tafsir klasik hingga kontemporer yang sebelumnya hanya tersimpan di perpustakaan-perpustakaan besar atau pesantren. Aplikasi, situs web, dan media sosial menjadi perantara yang mempermudah pencarian ayat, penjelasan, dan terjemahan dalam berbagai bahasa. Namun, di balik kemudahan yang disambut gembira ini, terdapat ancaman serius yang mengintai: simplifikasi makna, yaitu penyederhanaan atau pemapatan pemahaman yang kompleks menjadi sesuatu yang dangkal, instan, dan seringkali terlepas dari konteksnya.

Kemudahan yang Menipu: Akses Tanpa Peta

Kemudahan akses seringkali dianggap setara dengan kemudahan pemahaman. Padahal, memiliki banyak buku di genggaman tidak serta-merta membuat seseorang menjadi ahli. Tafsir Al-Qur’an adalah disiplin ilmu yang sangat dalam, dibangun di atas fondasi bahasa Arab, ilmu alat (nahwu, sharaf), asbabun nuzul (sebab turunnya ayat), nasikh-mansukh, hingga konteks historis dan sosiologis. Ketika seseorang membaca satu ayat beserta terjemahan dan penjelasan singkat di media sosial tanpa memahami ilmu-ilmu pendukungnya, yang didapatkan seringkali hanyalah “kulitnya” saja. Bahaya muncul ketika pemahaman parsial dan instan itu dianggap final dan kemudian disebarluaskan dengan penuh keyakinan.

Ekosistem Digital yang Mempercepat Penyebaran Tafsir Tunggal

Algoritma media sosial cenderung mempertemukan kita dengan konten yang sesuai dengan preferensi dan keyakinan kita sebelumnya. Fenomena “ruang gema” (echo chamber) ini berpotensi menyempitkan wawasan. Seseorang yang cenderung pada pemahaman literalis akan terus disuguhi tafsir-tafsir yang serupa, mengukuhkan keyakinannya tanpa pernah berinteraksi dengan penafsiran lain yang lebih kontekstual, filosofis, atau sufistik. Akibatnya, keragaman penafsiran (ikhtilaf) yang merupakan kekayaan tradisi Islam, tergerus oleh suara yang paling lantang, viral, atau paling sesuai dengan narasi populer. Tafsir yang kompleks dan bernuansa kalah bersaing dengan konten yang simpel, hitam-putih, dan penuh retorika.

De-kontekstualisasi: Potong Ayat, Sempitkan Makna

Fitur “share” atau “cut-paste” memudahkan penyebaran kutipan ayat atau tafsir secara terpisah dari keseluruhan pembahasannya. Sebuah ayat tentang perang bisa disalahpahami jika dipisahkan dari konteks historisnya. Ayat tentang kepemimpinan bisa disederhanakan menjadi alat legitimasi politik. De-kontekstualisasi ini mengubah Al-Qur’an dari kitab petunjuk yang hidup dan dialogis menjadi kumpulan “soundbite” atau slogan yang mudah diinstrumentalisasi untuk berbagai kepentingan, mulai dari politik praktis hingga komodifikasi agama.

Antara Ancaman dan Peluang: Menjadi Pembaca Digital yang Kritis

Lantas, apakah kita harus menolak digitalisasi tafsir? Tentu tidak. Kemudahan akses adalah berkah yang tak ternilai jika dimanfaatkan dengan bijak. Tantangannya adalah membangun literasi digital keagamaan.

Pertama, sadar akan batasan. Pengguna harus menyadari bahwa penjelasan singkat di internet adalah pintu masuk, bukan tujuan akhir. Ia harus memicu keingintahuan untuk mendalami lebih lanjut, merujuk pada sumber primer, atau berkonsultasi dengan yang lebih ahli.

Kedua, mencari keragaman. Secara aktif mencari dan membandingkan berbagai penafsiran dari mazhab dan zaman yang berbeda. Ini melatih sikap kritis dan menghargai kompleksitas teks suci.

Ketiga, memanfaatkan teknologi untuk pendalaman, bukan hanya konsumsi. Digital tools bisa digunakan untuk mempelajari bahasa Arab, mengikuti kuliah online (dars) dari ulama yang kredibel, atau berdiskusi dalam forum yang sehat dengan moderator yang kompeten.

Keempat, peran para ulama dan institusi keagamaan menjadi krusial. Mereka harus hadir di ruang digital dengan konten yang mendalam, menarik, dan mudah diakses, namun tetap menjaga kedalaman dan integritas keilmuannya. Mereka perlu menjadi “peta” atau “navigator” di tengah banjir informasi.

Penutup

Era digital telah menempatkan tafsir Al-Qur’an pada persimpangan. Di satu sisi, ia membuka gerbang ilmu seluas-luasnya bagi setiap orang. Di sisi lain, ia berisiko mereduksi samudera makna menjadi setetes air yang dianggap mewakili keseluruhan. Tantangan terbesar kita bukan lagi pada bagaimana mengakses tafsir, tetapi pada bagaimana menjadi pembaca yang cerdas, rendah hati, dan kritis di tengah arus informasi yang deras. Dengan begitu, kemudahan akses tidak menjadi jebakan simplifikasi, melainkan jembatan menuju pemahaman yang lebih utuh dan bertanggung jawab atas kitab suci.

Komentar