Pendidikan Humanis: Fondasi untuk Membentuk Generasi Berkarakter 2025

Opini, Pendidikan47 Dilihat

Dalam dunia pendidikan saat ini dari tahun ke tahun di tahun 2025, keberhasilan belajar sering kali diukur hanya dari pencapaian akademik. Namun, apakah angka dalam raport dan ijazah benar-benar mencerminkan kualitas seseorang? Di sinilah pentingnya pendekatan pendidikan humanis, yang menempatkan manusia sebagai pusat pembelajaran, bukan sekadar penerima materi tanpa kesempatan untuk berkembang secara emosional dan sosial.

Sistem pendidikan yang berorientasi pada nilai akademik sering kali mengabaikan sisi kemanusiaan. Peserta didik berada di bawah tekanan untuk meraih angka tinggi, tetapi kurang memahami makna dari ilmu yang mereka pelajari. Hal ini dapat menghambat kreativitas serta kemampuan berpikir kritis. Sebaliknya, pendidikan berbasis humanisme justru lebih menekankan bahwa setiap individu memiliki potensi unik yang harus diasah, bukan diseragamkan.

Dalam lingkungan belajar yang humanis, guru atau dosen berperan lebih dari sekadar pengajar mereka menjadi fasilitator dan motivator. Mereka menciptakan suasana kelas yang inklusif dan penuh empati, sehingga peserta didik merasa dihargai, didengarkan, serta memiliki ruang untuk menyampaikan ide mereka. Pendekatan ini telah terbukti efektif di berbagai negara yang menerapkan pendidikan berbasis karakter.

Namun, bagaimana dengan implementasinya di Indonesia? Sayangnya, sistem pendidikan kita saat ini, masih lebih menitikberatkan hasil akhir dibandingkan proses. Ujian menjadi tolak ukur utama, sementara keterampilan hidup, kecerdasan emosional, dan pemikiran kritis masih kurang mendapat perhatian. Jika kita ingin melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual tetapi juga berkarakter dan kompetitif, maka sudah saatnya sistem pendidikan bertransformasi ke arah yang lebih humanis lagi.

Pendidikan sejatinya bukan hanya tentang mentransfer ilmu, tetapi juga membentuk manusia seutuhnya. Dengan menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dalam proses pembelajaran, kita tidak hanya menciptakan individu yang cerdas, tetapi juga pribadi yang mampu berpikir mandiri, berempati, serta berkontribusi bagi masyarakat. Hakikat pendidikan yang sesungguhnya adalah membebaskan, bukan membatasi.

So, saatnya sistem pendidikan kita di ubah guru atau dosen bukan lagi mentransfer ilmu, tetapi sebagai fasilitator untuk peserta didik untuk mengembangkan soft skill dan hard skill mereka masing-masing, peserta didik harus dijadikan sebagai subjek (output) keberhasilan dalam proses pembelajaran di kelas, serta guru atau dosen harus melihat proses belajar peserta didik, bukan lagi dari hasil ujian yang di peroleh (hargai prosesnya dan terima hasil akhirnya). Sudah saatnya sistem pendidikan kita tumbuh berkarakter, karena generasi emas akan lahir dari pendidik yang memiliki pikiran yang emas.

Komentar