Pemasaran dengan Pendekatan Cinta

Opini, Pendidikan6630 Dilihat

Prof. Dr. Ahmad Syarief Iskandar, S.E., M.M.
(Guru Besar Bidang Ilmu Manajemen Pemasaran)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI PALOPO 2025

DEFINISI DAN KONSEP DASAR PEMASARAN

AMA (American Marketing Assosiation) mendefinisikan pemasaran : is the activity, set of institutions, and processes for creating, communicating, delivering, and exchanging offerings that have value for customers, clients, partners, and society at large. (Pemasaran adalah aktivitas, serangkaian institusi, dan proses untuk menciptakan, mengomunikasikan, menyampaikan, dan mempertukarkan penawaran yang bernilai bagi pelanggan, mitra, dan masyarakat.)

Kotler dan Keller (2006) mendefinisikan marketing as the art and science of choosing target markets and getting, keeping, and growing customers through creating, delivering, and communicating superior customer value. (Pemasaran adalah ilmu dan seni dalam memilih dan mendapatkan target pasar, menjaga dan menambah konsumen melalui penciptaan, menyampaikan dan mengkomunikasikan nilai kepada konsumen).

Menurut Drucker (1973), tujuan pemasaran adalah memahami pelanggan sedemikian rupa sehingga produk/jasa cocok untuk mereka dan terjual dengan sendirinya (The aim of marketing is to know and understand the customer so well that the product or service fits them and sells itself). Bagi Drucker, keuntungan tidak seharusnya menjadi tujuan utama dalam bisnis, namun konsumen dan pasar. Baginya marketing bukan alat untuk meperoleh keuntungan tetapi pemasaran merupakan kekuatan pendorong utama dalam bisni. (Cohen, 2013).

Bila coba disimpulkan berdasarkan berbagai definisi tersebut, maka pemasaran adalah proses strategis yang merupakan seni dan ilmu yang berfokus pada pemahaman mendalam pelanggan dan pasar, untuk menciptakan, mengomunikasikan, menyampaikan, serta mempertukarkan nilai (value) bagi semua pemangku kepentingan (pelanggan, mitra, masyarakat). Tujuannya adalah mendapatkan, menjaga, dan mengembangkan pelanggan melalui penawaran yang sangat sesuai sehingga “terjual sendiri”, dengan prinsip bahwa kepuasan pelanggan merupakan kekuatan pendorong utama bisnis yang pada akhirnya menghasilkan keuntungan.

PERKEMBANGAN PEMASARAN
Perkembangan pemasaran dimulai ketika manusia mulai mempertukarkan barang ditandai dengan adanya barter antara manusia untuk saling memenuhi kebutuhannya. Iklan pertama kali diperkirakan pada 3000 SM dengan berbagai temuan arkeologi di wilayah Mesopotamia, Eropa, Afrika, hingga Amerika Selatan. Beberapa temuan periklanan kuno dalam bentuk visual, yaitu dengan terdapatnya poster poster berbahan papirius (Aisyah et al, 2021).Era ini disebut era kuno sampai pada abad ke 15. Pada abad 15-18, yang merupakan era pra industrial, yang ditandai dengan ditemukannya mesin cetak pada tahun 1440 sehingga memungkinkan pencetakan iklan melalui selebaran dan dimulainya iklan koran pertama pada tahun 1470 di Inggris (https://en.wikipedia.org/wiki/Printing_press). Pada era ini, pemasaran fokus pada penjualan dan komunikasi satu arah.

Perkembangan pemasaran selama ini setidaknya dapat dikelompokkan dalam enam fase yaitu:

1. Era Produksi (1860an–1920an)

Pada fase ini, perusahaan hanya berfokus pada efisiensi produksi dan ketersediaan produk massal. Premis utamanya adalah konsumen akan membeli produk yang murah dan mudah diakses, terutama di pasar dengan permintaan yang melebihi penawaran. Keterbatasan utama era ini adalah pengabaian terhadap variasi kebutuhan pelanggan dan kualitas produk (Keith, 1960). Contoh utama pada fase ini adalah produksi mobil Ford Model-T, yang membuat model produk satu untuk semua.

2. Era Produk (1920an–1940an)

Seiring meningkatnya persaingan, fokus beralih ke inovasi dan kualitas produk. Perusahaan percaya bahwa konsumen akan memilih produk dengan fitur, kinerja, atau keawetan terbaik. Namun, era ini menuai kritik karena “Myopia Pemasaran” (kebutaan pemasaran), di mana perusahaan terlalu fokus pada produk sendiri dan mengabaikan kebutuhan mendasar pelanggan serta dinamika pasar (Levitt, 1960). Contoh pada era ini di mana perusahaan peralatan kantor yang hanya fokus pada fitur teknis tanpa mempertimbangkan kemudahan penggunaan.

3. Era Penjualan (1940an–1950an)

Ketika persaingan semakin ketat dan penawaran melebihi permintaan, perusahaan mengadopsi pendekatan penjualan dan promosi agresif. Premisnya adalah konsumen perlu dibujuk untuk membeli, terutama untuk produk yang tidak dicari (unsought goods). Kelemahan utamanya adalah pengabaian terhadap kepuasan pelanggan jangka panjang dan potensi merusak reputasi (Kotler & Keller, 2016). Contoh pada era ini adalah berjalannya teknik penjualan door-to-door yang agresif.

4. Era Pemasaran (1950an–1990an)

Pada era inilah kelahiran filosofi pemasaran modern yang berpusat pada pelanggan (customer-centric). Konsep intinya adalah mencapai tujuan organisasi dengan menentukan kebutuhan pasar sasaran dan memenuhinya secara lebih efektif daripada pesaing (Kotler, 1972). Bauran Pemasaran (4P: Product, Price, Place, Promotion) dan strategi atau pola STP (Segmentation, Targeting, Positioning) menjadi fondasi strategi bagi para pemasar. Orientasi pasar (market orientation) menjadi kunci sukses, meski masih cenderung transaksional (Kotler & Armstrong, 2021).

5. Era Hubungan (1990an–2000an)

Pemahaman bahwa mempertahankan pelanggan lebih menguntungkan daripada sekadar menarik pelanggan baru melahirkan relationship marketing. Fokus pemasar bergeser kepada membangun hubungan jangka panjang yang saling menguntungkan dengan pelanggan, pemasok, distributor, dan pemangku kepentingan lainnya (Grönroos, 1994). Konsep Customer Relationship Management (CRM) dan Customer Lifetime Value (CLV) menjadi sentral. Berry (1995) menekankan pentingnya hubungan ini khususnya di sektor jasa, di mana interaksi personal sangat krusial.

6. Era Digital / Pemasaran 4.0 (2000an–Sekarang)

Era ini ditandai dengan revolusi digital yang telah mentransformasi pemasaran secara fundamental, dengan fokus untuk memanfaatkan teknologi untuk menciptakan pengalaman pelanggan (customer experience) yang personal, real time, dan omnichannel (Kotler et al., 2017). Pada era ini, konsumen memiliki kendali lebih besar dan berinteraksi melalui saluran yang kompleks (online dan offline) dengan produsen maupun penjual. Kini, digital marketing, content marketing, social media, dan big data analytics menjadi lebih dominan. Vargo & Lusch (2004) memperkenalkan Service-Dominant Logic (SDL) yang menegaskan bahwa nilai selalu diko-kreasi dengan pelanggan, bukan sekadar ditawarkan. Penelitian Lemon & Verhoef (2016) juga menekankan pentingnya memahami customer journey secara holistik.

Dapat disimpulkan bahwa marketing telah berevolusi. Dari sekadar menjual produk, menjadi membangun hubungan. Dari mengejar angka, menjadi menciptakan pengalaman. Dengan pendekatan lain, marketing telah berevolusi mulai dari 1.0 (product centric) hingga marketing 5.0 (technology for humanity). Pemasaran 5.0 adalah konsep yang lebih baru dalam dunia pemasaran dan mencerminkan pergeseran lebih lanjut ke arah pemasaran yang lebih holistik dan berkelanjutan. Ini berfokus pada konektivitas yang lebih dalam antara perusahaan dan pelanggan, serta mengakui peran teknologi, seperti kecerdasan buatan (AI) dan Internet of Things (IoT), dalam mendukung upaya pemasaran. Kolaborasi dan keterlibatan pelanggan dalam pengembangan produk dan layanan menjadi norma. Pemasaran menjadi lebih holistik, dengan perusahaan berfokus pada membangun hubungan yang kuat dan berkelanjutan dengan pelanggan (Tazkia.ac.id)

PEMASARAN DENGAN PENDEKATAN CINTA

Di sini, cinta bukan dalam pengertian romantis, tapi cinta sebagai komitmen untuk memberi yang terbaik, sebagai empati yang aktif, dan kejujuran dalam relasi. Cinta adalah saat sebuah merek tidak hanya ingin “mengambil”, tapi juga “memberi”. Bukan hanya menjual, tapi benar-benar peduli pada kehidupan konsumen.

Pemasaran dengan pendekatan cinta adalah pendekatan pemasaran yang menempatkan empati, kepercayaan, dan nilai-nilai manusiawi sebagai inti hubungan kepada pelanggan. Pendekatan ini mencoba untuk: membangun hubungan emosional jangka panjang. memprioritaskan kepuasan pelanggan di atas profit instan, dan
menciptakan shared values.

Pemasaran dengan pendekatan cinta misalnya dengan mencoba menggunakan salah satu teori yang diperkenalkan oleh Robert Sternberg (1986) yaitu Theory of Love, menggambarkan cinta menggunakan triangular model, yang terdiri intimacy (kedekatan emosional) ditambah dengan passion (gairah) dan commitment (komitmen). Dalam penerapannya pada pemasaran maka intimacy dapat diwujudkan dengan melakukan personalisasi layanan. Personalisasi layanan diwujudkan misalnya dapat dilakukan dengan membuat layanan khusus yang disesuaikan dengan konsumen (misalnya menyebut nama pelanggan). Passion atau gairah dapat diciptakan dengan melakukan kampanye-kampanye yang inspiratif bagi konsumen. Komitmen dapat dibangun dengan membuat program yang dapat menciptakan loyalitas konsumen misalnya dengan program poin seperti yang dilakukan oleh banyak pemasar.

Teori yang lain yang dapat diaplikasikan adalah attachment theory yang diperkenalkan oleh Bowlby (1969) dapat diaplikasikan pada pemasaran dengan melihat bahwa konsumen membentuk ikatan dengan merek seperti dalam hubungan manusia. Reciprocity principle oleh Cialdini (1984) dapat diterapkan pada pemasaran dengan memberi hadiah atau solusi tulus yang dapat memicu keinginan membalas dari pelanggan.

Bapak dan Ibu yang saya hormati, Pemasaran dengan cinta setidaknya dapat
diterapkan pada pemasaran dengan menunjukkan:

  1. . Empati, ditunjukkan dengan memahami secara mendalam tentang kebutuhan emosional pelanggan dengan melakukan riset yang mendalam.
  2.  . Kejujuran, ditunjukkan dengan transparansi tentang produk dan kebijakan.
  3. . Pemberian yang tulus, dilakukan dengan memberi nilai tambah tanpa syarat kepada konsumen.
  4. . Komitmen jangka panjang, ditunjukkan dengan menjaga kualitas jangka panjang barang atau jasa yang ditawarkan dengan melakukan perbaikan secara berkelanjutan, dan
  5. . Kolaborasi, dilakukan dengan melibatkan konsumen dalam proses bisnis dan mendengarkan mereka.

Akhirnya tentu, pendekatan ini tidak tanpa tantangan. Tantangan yang dihadapi misalnya karena adanya tekanan target, ada investor yang ingin hasil cepat, dan ada sistem yang masih berpikir linear. Yang bisa dilakukan adalah mengintegrasikan cinta ke dalam sistem. Mendidik tim tentang pentingnya pelayanan yang tulus. Mengukur keberhasilan bukan hanya dari angka penjualan, tapi juga dari Net Promoter Score, dari engagement jangka panjang, dan dari kualitas hubungan. Marketing berbasis cinta tidak menolak data, justru memanusiakan data.

Hadirin yang saya hormati,

Di era di mana konsumen dibombardir iklan setiap detik, persaingan yang semakin ketat dengan lahirnya teknologi baru kita perlu sesuatu yang lebih dalam dari sekadar promosi. Kita butuh pendekatan yang otentik, yang tulus, yang berakar dari nilai kemanusiaan, dan itu mungkin adalah cinta. Cinta bukan kelemahan dalam marketing. Ia adalah kekuatan terdalam yang membuat merek bertahan, dan hubungan terus tumbuh. “Saat kompetitor menawarkan harga, kita berikan hati. Karena hati yang tulus tak mudah diganti.” Mari kita bawa kembali rasa dalam strategi. Mari kita kembalikan manusia dalam marketing.

Daftar Pustaka

Aisyah et al, (2021). Dasar-dasar Periklanan. Penerbit Yayasan Kita Menulis.
Berry, L. L. (1995). Relationship marketing of services—Growing interest, emerging
perspectives. Journal of the Academy of Marketing Science, 23(4), 236–245.
Bowlby, J. (1979). The Bowlby-Ainsworth attachment theory. Behavioral and Brain
Sciences, 2(4), 637–638. https://doi.org/10.1017/S0140525X00064955
Cialdini RB (1984) Influence: The Science and Psychology of Persuasion. HarperCollins
e-books.
Cohen, W.A. (2013). Drucker on Marketing: Lessons from the World’s Most Influential
Business Thinker. McGraw Hill.
Drucker, P.F. (1974). Management Tasks Responsibilities Practices. Allied Publishers
Private Limited.
Grönroos, C. (1994). From Marketing Mix to Relationship Marketing: Towards a
Paradigm Shift in Marketing. Management Decision, 32(2), 4–20.
https://tazkia.ac.id/berita/populer/500-mengenal-evolusi-marketing-1-0-hingga-5
0#:~:text=Evolusi%20dalam%20pemasaran%20(marketing)%20mengacu
https://www.ama.org/the-definition-of-marketing-what-is-marketing/
Keith, R. J. (1960). The Marketing Revolution. Journal of Marketing, 24(3), 35–38.
Kotler, P. (1972). A Generic Concept Of Marketing. Journal of Marketing, 36(2), 46–54.
Kotler, P., & Armstrong, G. (2021). Principles of Marketing (18th ed.). Pearson
Education.
Kotler, P., & Keller, K. L. (2016). Marketing Management (15th ed.). Pearson.
Kotler, P., & Keller, K.L. (2006). Marketing Management (12th ed.). New Jersey: Pearson
Education, Inc.
Kotler, P., Hermawan Kartajaya, Iwan Setiawan (2016). Marketing 4.0: Moving from
Traditional to Digital. Wiley.
Kotler, P., Kartajaya, H., & Setiawan, I. (2017). Marketing 4.0: Moving from traditional
to digital. Wiley.
Lemon, K. N., & Verhoef, P. C. (2016). Understanding Customer Experience Throughout
the Customer Journey. Journal of Marketing, 80(6), 69–96.
Levitt, T. (1960). Marketing Myopia. Harvard Business Review, 38(4), 45–56.

 

DOWNLOAD PDF di BAWAH INI 

Prof. Dr. Ahmad Syarief Iskandar, S.E., M.M. (A4)

Komentar