Ngaji Rutin Yayasan Bait Fitrah Al-Insani, Prof. Muhaemin Bedah Hukum Salam dalam Kitab Al-Adzkār Imam An-Nawawi

Opini687 Dilihat

Dalam kehidupan umat Islam, salam sering kali dipahami sebatas ungkapan pembuka percakapan atau formalitas perjumpaan. Padahal, dalam khazanah keilmuan Islam, salam memiliki kedudukan yang jauh lebih dalam. Ia bukan sekadar kebiasaan sosial, melainkan doa, ibadah, dan instrumen etika sosial yang sarat dengan dimensi hukum fikih dan nilai ukhuwah.

Perspektif ini kembali ditegaskan dalam kajian Kitab Al-Adzkār karya Imam An-Nawawi, khususnya pada Bab Salam, yang dibedah secara mendalam oleh Prof. Dr. Muhaemin, M.A. Dalam penjelasan tersebut, terlihat jelas bahwa salam merupakan fondasi relasi sosial yang dibangun Islam secara sadar dan terstruktur.

Salam: Sunnah yang Menghidupkan Ruang Sosial

Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa memulai salam hukumnya Sunnah Muakkadah, sebuah anjuran kuat yang mencerminkan keutamaan adab dalam Islam. Namun, ketika salam dilakukan dalam konteks kelompok, hukumnya berubah menjadi Sunnah Kifayah. Artinya, satu orang yang mengucapkan salam sudah cukup mewakili kelompoknya.

Konsep ini menunjukkan bahwa Islam tidak membebani umatnya secara berlebihan. Akan tetapi, menariknya, Imam An-Nawawi tetap menegaskan bahwa mengucapkan salam secara kolektif jauh lebih utama (afdal). Di sinilah terlihat keseimbangan Islam antara efisiensi hukum dan kesempurnaan adab. Salam yang diucapkan bersama-sama melahirkan suasana ramah, terbuka, dan penuh penghormatan.

Menjawab Salam: Tanggung Jawab Moral dan Sosial

Lebih dari sekadar etika, menjawab salam menyentuh ranah kewajiban syariat. Dalam kondisi individu, menjawab salam adalah Fardu ‘Ain, kewajiban personal yang jika ditinggalkan mendatangkan dosa. Sementara dalam konteks kelompok, hukumnya menjadi Fardu Kifayah.

Konsekuensi fikih ini mengandung pesan sosial yang sangat kuat. Jika sebuah kelompok diberi salam dan tidak satu pun menjawab, maka dosa ditanggung bersama. Ini menegaskan bahwa dalam Islam, kelalaian kolektif tidak pernah dianggap ringan. Setiap individu memiliki tanggung jawab untuk menjaga hak saudaranya, bukan justru berlindung di balik kehadiran orang lain.

Kesempurnaan Pahala dan Energi Kebersamaan

Menariknya, meski satu jawaban sudah cukup menggugurkan kewajiban kelompok, Imam An-Nawawi menyebut bahwa menjawab salam secara serempak menghadirkan pahala yang sempurna. Praktik ini melampaui aspek hukum semata.

Menjawab salam bersama-sama menciptakan energi positif, rasa dihargai, dan ikatan emosional yang kuat. Dalam konteks masyarakat modern yang cenderung individualistik, nilai ini menjadi sangat relevan. Salam berfungsi sebagai perekat sosial yang sederhana namun efektif dalam membangun kehangatan antar sesama Muslim.

Salam dan Tasymit: Pola Interaksi Berbasis Kepedulian

Imam An-Nawawi juga menyandingkan hukum salam dengan hukum tasymit (mendoakan orang yang bersin). Keduanya bersifat kifayah, di mana satu orang yang peduli sudah cukup mewakili kepedulian kelompok.

Analogi ini menunjukkan bahwa Islam membangun pola interaksi sosial berbasis saling menjaga dan saling mendoakan. Kepedulian tidak harus dilakukan semua orang, tetapi tidak boleh pula diabaikan oleh semuanya. Inilah keseimbangan antara individualitas dan kolektivitas dalam ajaran Islam.

Salam sebagai Doa dan Simbol Peradaban

Hadis riwayat Abu Daud dan penguatan dari Al-Muwaththa’ karya Imam Malik menegaskan bahwa salam adalah sarana utama dalam menyebarkan kasih sayang. Salam membawa doa keselamatan, ketenangan, dan keberkahan bagi yang mengucapkan maupun yang menjawab.

Dalam perspektif ini, salam bukan sekadar adab personal, tetapi simbol peradaban Islam. Masyarakat yang hidup dengan budaya salam adalah masyarakat yang menghargai sesama, menjunjung adab, dan menanamkan rasa aman dalam ruang sosialnya.

Penutup

Salam adalah doa yang menjelma menjadi etika sosial. Ia mungkin sederhana dalam bentuk, tetapi sangat besar dalam makna. Ketika salam dipraktikkan tidak hanya sebagai kewajiban hukum, melainkan sebagai ekspresi adab dan kepedulian, maka ia akan melahirkan masyarakat yang hangat, harmonis, dan berlandaskan ukhuwah.

Di tengah kehidupan yang semakin individualistik, menghidupkan kembali makna salam adalah langkah kecil namun strategis untuk membangun kembali ruh kebersamaan dalam Islam.

Komentar