Merawat Kasih di Era Digital: Belajar dari Gus Dur di Hari Natal 2025

Opini155 Dilihat

Penulis: Hamsa S.Pd.,M.pd.

Opini – Bertepatan pada hari Kamis, tanggal 25 Desember 2025, Perayaan hari Natal kembali dilaksanakan dengan penuh haru dan bahagia di gereja Kristen katolik Paroki Sto Mikael kota Palopo. Saat kami bercerita santai bersama dengan Jamaat di gereja Palopo, mereka di selah-selah perbincangan teringat pada salah satu sosok pahlawan Nasional Indonesia, Dia adalah KH Abdurrahman Wahid atau akrab di sapa dengan panggilan Gus Dur. Meski zaman sudah berubah drastis dan teknologi kecerdasan buatan (AI) kini mengatur hampir semua aspek hidup kita, namun pemikiran Gus Dur tentang kemanusiaan justru terasa seperti “oase” yang menyejukkan.

Gus Dur, mengajarkan kita bahwa semaju apa pun teknologi saat ini, ia tidak boleh kehilangan sentuhan kasih dan perhatian kepada sesama manusia.

Dulu, perjuangan Gus Dur fokus pada pengakuan hak-hak administratif kelompok minoritas, agar mereka tidak dianaktirikan oleh negara. Namun, hari ini tantangannya bergeser ke dunia siber. Di mata Gus Dur, martabat manusia jauh lebih berharga daripada sekadar angka atau statistik semata. Di era yang serba cepat ini, beliau seolah mengingatkan kita semua agar jangan sampai teknologi membuat hati kita mengeras dan hanya peduli pada kelompok sendiri saja.

Tentunya, kita tentu masih ingat momen mengharukan saat Gus Dur memastikan keamanan saudara-saudara Kristiani, yang sedang beribadah lewat pengawalan Banser di masa lalu. Di tahun 2025, cara kita “menjaga” sesama pun harus ikut berkembang. Kini, bentuk perlindungan itu berupa sikap bijak di media sosial, yakni dengan tidak menyebarkan kebencian atau merundung atau mengolok-olok mereka yang berbeda. Gus Dur, ingin kita menjadi pelindung bagi mereka yang merasa “suaranya” tenggelam di tengah bisingnya jagat maya ini.

Lebih dalam lagi, modernisasi seharusnya menjadi jembatan untuk saling mengenal, bukan tembok untuk saling memusuhi satu sama lainnya. Seringkali, algoritma internet justru mengurung kita dalam kelompok yang itu-itu saja, sehingga kita jadi mudah curiga pada perbedaan. Spirit Gus Dur, seolah-olah mengajak kita untuk kembali berani menyapa dan berdialog dengan siapa pun. Beliau ingin kemajuan teknologi digunakan untuk merangkul semua orang, sehingga tak ada lagi kelompok yang merasa ditinggalkan dan terkucilkan.

Kita juga perlu menyadari bahwa, teknologi itu ibarat pisau bermata dua, tergantung siapa yang memegangnya. Gus Dur selalu menekankan bahwa, dasar dari setiap tindakan adalah akhlak. Di era digital saat ini, berarti kita juga punya tanggung jawab moral untuk menjaga kedamaian di internet. Jangan biarkan kabar bohong atau narasi yang memecah belah merusak kerukunan yang sudah susah payah kita rawat selama puluhan tahun.

Ada satu kalimat legendaris dari Gus Dur pernah mengatakan bahwa: *”Di atas politik adalah kemanusiaan.”* Jika kita terjemahkan ke konteks hari ini, artinya, bahwa: “Di atas teknologi secanggih apa pun, tetaplah kemanusiaan yang jadi panglima.” Natal tahun 2025 ini, menjadi pengingat yang pas bagi kita semua bahwa, segala kemudahan akses internet dan kecanggihan perangkat digital tidak akan berarti banyak jika kita gagal menghargai orang lain sebagai sesama makhluk Tuhan.

Mengenang Gus Dur di tengah suasana Natal 2025 ini, juga menyadarkan kita bahwa keberagaman itu sebenarnya adalah sebuah anugerah, bukan beban bangsa. Beliau memberikan contoh nyata bahwa, mencintai keyakinan kita sendiri tidak harus dibarengi dengan merendahkan keyakinan orang lain. Semangat inilah yang sangat penting kita wariskan kepada anak cucu kita, agar mereka tumbuh menjadi generasi yang cerdas akalnya, namun tetap lembut hatinya.

Sebagai penutup dari tulisan ini, satu hal yang paling perlu untuk kita tekankan di tahun 2025 ini adalah merayakan kasih Natal bersama semangat Gus Dur adalah tentang keberanian untuk berpihak pada keadilan bagi siapa pun yang membutuhkan.

Di dunia yang serba otomatis ini, mari kita jadikan sikap peduli dan inklusif sebagai pedoman utama dalam bergaul. Teknologi boleh saja terus melompat jauh ke depan, namun ketulusan hati untuk menerima perbedaan harus tetap menjadi tujuan akhir kita dalam berbangsa dan bernegara.

Komentar