Mendalami Makna Puasa: Antara Ketaatan, Keikhlasan, dan Kesempatan untuk Memperbaiki Diri

Uncategorized416 Dilihat

PENULIS: Amelia Salma vionilah (Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Palopo)

Puasa dalam bahasa berarti menahan diri. Sedangkan dalam konteks syara’, puasa adalah menahan diri dari segala pembatal sepanjang hari (siang). Puasa diwajibkan pada bulan Sya’ban tahun kedua Hijriah. Rasulullah SAW berpuasa selama sembilan kali Ramadan, karena beliau tinggal di Madinah selama sepuluh tahun. Dalil yang mewajibkan puasa terdapat dalam QS. Al-Baqarah: 183.

Puasa adalah ibadah yang terjaga dari sifat riya’ (pamer). Artinya, ibadah puasa sulit dicampuri oleh niat untuk memperlihatkan amal kepada orang lain karena sifatnya yang tersembunyi. Dalam sebuah hadis disebutkan, “Tiada pada puasa itu riya’” (HR. Baihaqy).

Ketika seseorang berpuasa, tidak ada yang tahu kecuali Allah dan orang yang bersangkutan. Berbeda dengan ibadah lain yang bisa dilihat dan dipuji oleh orang lain (seperti shalat, sedekah, atau haji), puasa merupakan bentuk ketaatan yang paling tersembunyi, karena orang yang berpuasa menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal yang membatalkan puasa tanpa terlihat oleh orang lain.

Puasa berfungsi sebagai pelindung atau penjaga dari berbagai keburukan, termasuk azab Allah. Puasa diibaratkan sebagai perisai yang melindungi seorang mukmin dari dosa, godaan, dan perilaku buruk yang bisa mendatangkan murka Allah. Dalam sebuah hadis dikatakan, “Puasa adalah perisai dari azab Allah” (HR. Baihaqy).

Dengan berpuasa, seseorang tidak hanya menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga menjaga perilaku, perkataan, serta pikiran dari hal-hal yang tidak baik. Ibadah puasa melatih kesabaran, ketakwaan, dan keikhlasan, sehingga seseorang lebih terjaga dari perbuatan dosa. Ketika seseorang mampu menjaga puasanya dengan baik, ia terhindar dari sifat-sifat yang dapat mengundang azab Allah, dan sebaliknya, ia akan memperoleh perlindungan serta rahmat dari-Nya.

Orang yang berpuasa memiliki nilai ibadah di sisi Allah. Bahkan ketika tidur, orang yang berpuasa tetap mendapatkan pahala, karena tidur dalam keadaan berpuasa dianggap sebagai bagian dari ketaatan kepada Allah.

Diamnya orang yang berpuasa, terutama ketika menghindari perkataan yang sia-sia atau buruk, bernilai seperti tasbih (memuji Allah). Ini menekankan pentingnya menjaga ucapan dan perilaku saat berpuasa. Setiap amal baik yang dilakukan oleh orang yang berpuasa akan dilipatgandakan pahalanya, menunjukkan besarnya keutamaan puasa dan dorongan untuk memperbanyak amal baik.

Doa orang yang berpuasa, khususnya menjelang berbuka, memiliki kesempatan besar untuk dikabulkan, karena puasa adalah bentuk ibadah yang penuh keikhlasan. Puasa memiliki kekuatan untuk menghapus dosa-dosa, menjadi kesempatan bagi umat Islam untuk memperbaiki diri dan mendekatkan diri kepada Allah. Dalam sebuah hadis disebutkan, “Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, amalnya itu dilipatgandakan, doanya dikabulkan, dan dosanya diampuni” (HR. Baihaqy).

Hadis ini dinilai dhaif (lemah) oleh sebagian ulama karena kelemahan dalam sanadnya, namun maknanya tetap selaras dengan ajaran Islam yang menekankan keistimewaan puasa sebagai ibadah yang menyeluruh dan bernilai tinggi.

Komentar