Menabur Garam diatas luka : Kritik Atas SE Disdik Lampung yang menjadi hukuman psikologi bagi anak-anak tanpa sosok ayah

Opini725 Dilihat

Oleh: M. Iqbal Farochi ‎(Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta)

Opini : Di tengah hiruk-pikuk upaya meningkatkan mutu pendidikan nasional, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung baru saja mengeluarkan sebuah surat edaran yang menggetarkan nurani. Melalui surat bernomor 400.3.8.5/3149/V.01/DP.2/2025, muncul sebuah instruksi mulia bertajuk Gerakan Ayah Mengambil Rapor (GEMAR). Sebuah kebijakan yang seolah ingin meyakinkan kita bahwa kunci utama transformasi karakter siswa tidak terletak pada kurikulum yang adaptif atau fasilitas sekolah yang mumpuni, melainkan pada kehadiran fisik seorang ayah di depan meja wali kelas selama lima belas menit setahun sekali.

‎Sungguh sebuah langkah jenius yang sangat efisien dalam menghabiskan kertas dan energi administratif. Di saat kita berdiskusi tentang digitalisasi rapor dan efisiensi birokrasi, kita justru dipaksa kembali ke romantisme kehadiran fisik yang dipaksakan.

‎Kebijakan ini tampaknya lahir dari ruang-ruang ber AC yang nyaman, di mana realitas sosial dianggap selinear garis di atas kertas. Premisnya sederhana namun naif “Jika ayah datang ambil rapor, maka keterlibatan (father involvement) meningkat, dan psikososial anak langsung sehat.” Kita patut bertanya, apakah para pembuat kebijakan ini menyadari bahwa Lampung bukan hanya berisi keluarga kelas menengah perkotaan dengan jam kerja nine-to-five yang fleksibel?

‎Bagaimana dengan para ayah yang sedang bertaruh nyawa di perantauan? Para buruh yang akan kehilangan upah harian jika izin setengah hari? Atau para petani yang sedang mengejar masa tanam? Tampaknya, dalam kacamata birokrasi, kasih sayang dan keterlibatan ayah hanya sah jika dibuktikan dengan bukti hadir pengambilan rapor di sekolah. Selebihnya, perjuangan mencari nafkah dianggap sebagai variabel yang bisa diabaikan.

‎Ada hal yang menggelitik ketika institusi negara mulai merasa perlu mengatur siapa yang harus memegang map rapor di dalam sebuah keluarga. Pembagian peran domestik siapa yang berangkat ke sekolah dan siapa yang menjaga dapur tetap mengebul adalah kedaulatan rumah tangga yang seharusnya tidak dicampuri oleh surat edaran.

‎Alih-alih fokus menyelesaikan masalah krusial seperti kesenjangan kualitas pendidikan antarwilayah di Lampung, dinas terkait justru tampak sibuk menjadi konsultan keluarga dadakan. Ini adalah potret nyata dari sebuah institusi yang mungkin kehabisan agenda substansial, sehingga harus menciptakan hal- hal seremonial agar terlihat “ada kerjaan” di mata instansi mitra seperti BKKBN.

‎Lebih jauh lagi, kebijakan ini seolah menutup mata pada keragaman struktur keluarga. Di sekolah, akan ada anak-anak yang harus menunduk lesu bukan karena nilai matematikanya merah, tapi karena sosok ayah yang diminta hadir oleh negara memang sudah tidak ada, atau sedang berjuang di ruang yang tak terjangkau oleh surat edaran. Kebijakan yang diniatkan untuk “kesejahteraan psikososial” ini justru berpotensi menjadi belati psikologis bagi mereka yang tumbuh dalam keluarga non-nuklir.

‎Kita tentu mendukung keterlibatan orang tua dalam pendidikan. Namun, memaksakan kehadiran fisik satu pihak melalui instruksi formal adalah bentuk kemalasan berpikir dalam memecahkan masalah pendidikan yang sistemik. Pendidikan butuh solusi pada kualitas pengajaran, bukan sekadar kehadiran fisik ayah yang dipaksa cuti hanya untuk mendengarkan wali kelas mengeluh soal uang iuran.

‎Jika indikator keberhasilan pendidikan diukur dari siapa yang mengambil rapor, maka kita sedang bergerak mundur menuju birokrasi lipstik yang selalu tampil cantik di laporan kegiatan, namun pucat pasi dalam substansi.

Komentar