Lebaran: Antara Tradisi dan Ketidaksetaraan Ekonomi

Opini135 Dilihat

Oleh: Adzan Noor Bakri (Dosen IAIN PALOPO)

OPINI – Di tengah gegap gempita persiapan Lebaran, sebuah fenomena tahunan merentang luas, menyentuh lapisan masyarakat dari berbagai kalangan. Di sudut-sudut pusat perbelanjaan, dari pasar tradisional hingga mall-mall mewah, terhampar pemandangan yang sama: barisan panjang wajah-wajah penuh harap, mata yang berbinar mencari tawaran terbaik, dan tangan yang siap merebut peluang diskon yang mungkin hanya datang sekali setahun ini. Namun, di balik keriuhan dan keceriaan tersebut, terselip kisah-kisah duka yang menggambarkan realita ketidaksetaraan ekonomi yang kian terpampang jelas.

Fenomena ini lebih dari sekedar tradisi berbelanja. Bagi sebagian besar, terutama masyarakat kelas menengah ke bawah, momen ini menjadi ajang pertarungan sesungguhnya. Pertarungan untuk membuktikan diri, untuk sejenak merasakan euforia menjadi bagian dari masyarakat konsumtif yang selama ini hanya bisa mereka lihat dari kejauhan. Ada cerita tentang Ibu-ibu yang rela mengantri berjam-jam, menahan lelah dan panas, hanya untuk mendapatkan pakaian baru untuk anak-anak mereka. Kisah-kisah ini adalah cermin dari aspirasi dan harapan mereka akan sebuah Lebaran yang lebih baik, lebih cerah, di mana mereka bisa merasakan sedikit kebahagiaan dalam kehidupan yang serba berjuang.

Di satu sisi, fenomena ini menggambarkan kegigihan dan ketangguhan masyarakat kita. Namun, di sisi lain, ini juga membuka luka lebar tentang realita ketidaksetaraan yang masih begitu nyata. Pertanyaannya kemudian, sampai kapan kisah seperti ini akan terus berulang? Sampai kapan harapan dan aspirasi harus dibayar dengan kelelahan dan perjuangan berat di tengah keramaian pusat perbelanjaan?

Perlu sebuah refleksi mendalam dari semua pihak, baik pemerintah, pelaku usaha, maupun masyarakat itu sendiri. Diskon-diskon besar menjelang Lebaran seharusnya tidak hanya menjadi alat pemasaran semata, melainkan juga menjadi sarana untuk lebih merajut kebersamaan dan kesetaraan. Inisiatif untuk memberikan harga yang lebih terjangkau, layanan yang lebih inklusif, dan perhatian yang lebih besar kepada kebutuhan dasar masyarakat tidak hanya akan merubah narasi belanja Lebaran, tetapi juga memperkuat ikatan sosial dan ekonomi kita sebagai sebuah bangsa.

Momentum Lebaran seharusnya menjadi waktu yang memperkuat kesadaran kita tentang pentingnya empati dan solidaritas. Sebuah kesempatan untuk merenungkan ulang nilai-nilai yang kita pegang sebagai masyarakat, dan bagaimana kita bisa mengubah tradisi berbelanja menjadi sebuah praktik sosial yang lebih berkeadilan. Karena di balik keriuhan dan kesibukan Lebaran, terdapat peluang besar untuk membangun masyarakat yang lebih inklusif, lebih empatik, dan tentu saja, lebih adil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *