Kritik Terhadap Opini” Kampus itu ruang akademik atau arena Kampanye Politik?

Opini1060 Dilihat

PENULIS: Ugha Anugrah
( Mahasiswa Magister BK UNJ )

OPINI: Mahasiswa sebagai salah satu representatif kaum intelektual dengan segudang narasi dan kemampuan analisa memadai sepertinya menjadi hal yang tidak berlaku pada mahasiswa dungu yang menulis opini dengan judul “Kampus itu ruang akademik atau arena Kampanye Politik” dimuat pada kolom Opini dan Sastra LPM Grafitty  2 November 2024.

Alih-alih menyajikan uraian tajam mengenai kritik terhadap “ruang akademik dalam pusaran politik” malah banyak berisi nyinyiran dan lelucon melalui kutipan sok filosofis namun minim analisa yang tentunya jauh dari wujud intelektual.

Coretan nya dia mulai dengan pandangan bahwa kampus mustinya menjadi “ruang netral”, terbebas dari pengaruh politik praktis, hal yang merupakan sebuah simplifikasi yang problematik.

Kalau saja orang dungu itu mau sedikit membaca ia akan mengetahui bahwa Secara historis, dewasa ini universitas modern justru lahir dan berkembang dari keterlibatan secara aktif dengan berbagai macam dinamika sosial-politik masyarakatnya.

Berkaca dari Oxford dan Cambridge yang memiliki sejarah panjang dalam membentuk pemikiran politik Inggris, sampai Universitas Paris yang menjadi tempat lahirnya berbagai gerakan pemikiran politik Prancis, dari hal ini dapat dilihat bahwa Universitas sebaiknya turut mengambil peran dengan mengedepankan prinsip independensi, bukan malah menjadi orang dungu yang menengahkan sikap netral karena tidak tahu dan mau tahu karena memang tidak punya pengetahuan.

Lebih lanjut, konsep “netralitas” sendiri perlu dipertanyakan kembali, apakah aktualnya dengan menutup pintu terhadap kampanye politik merupakan wujud kampus menjadi lebih netral? Atau justru tindakan “penutupan” itu sendiri adalah sebuah sikap politik yang implisit mendukung status quo? Sehingga netralitas yang sejati justru mungkin terletak pada keterbukaan pemikiran dengan menghadirkan berbagai pandangan politik, termasuk melalui kampanye, sambil tetap mempertahankan daya kritis akademik.

Lucunya Orang dungu ini mencoba mengutip konsep “polis” Plato sebagai penguat  igauan nya. Sayangnya hal ini merupakan pembacaan yang kurang lengkap terhadap pemikiran Plato.

Dalam “Republic”, Plato justru menekankan pentingnya hubungan organik antara pendidikan dan politik. Konsep philosopher-king yang dia ajukan mengindikasikan bahwa pemimpin politik ideal adalah mereka yang memiliki pendidikan filosofis yang mendalam.
Filsuf sekaliber Plato tidak pernah menganjurkan pemisahan total antara ruang pendidikan dan ruang politik. Sebaliknya, Justru beliau melihat keduanya sebagai aspek yang musti nya saling melengkapi dalam mewujudkan tatanan masyarakat ideal. Kampus sebagai “miniatur polis” justru seharusnya menjadi tempat di mana teori dan praktik politik bertemu dan berdialog.

Ngawur nya orang dungu ini semakin nampak pada racauan nya bahwa “kampanye politik di kampus mengancam independensi akademik” hal ini perlu dicermati lebih mendalam dengan memahami hal sederhana seperti perbedaan fundamental antara independensi dan isolasi. Independensi akademik berarti kemampuan untuk mempertahankan otonomi pemikiran dan penilaian kritis, bukan berarti mengisolasi diri dari realitas politik praktis.

Maka wujud kampus yang benar-benar independen dapat dilihat dari kepemilikan kerani membuka ruang dialog dengan berbagai kekuatan politik, mampu mempertahankan daya kritisnya, dapat menjadi fasilitator diskusi publik yang berkualitas, dan memberikan exposure kepada mahasiswa tentang realitas politik praktis.

Alih-alih menyuarakan pelarangan kampanye politik di kampus, lebih baik mengembangkan kerangka yang konstruktif, agar kedunguan-nya berangsur-angsur pulih dengan mengajukan pengaturan yang Jelas terkait protokol pelaksanaan kampanye, memastikan kesetaraan akses bagi semua kandidat, mengatur format yang mendukung diskusi substantif.

Sembari melakukan penguatan kapasitas kritis sebagai mahasiswa melalui diskusi pre dan post kampanye, melibatkan akademisi dalam analisis program mengembangkan forum evaluasi kebijakan.

Kemudian melakukan pengintegrasian dengan Pembelajaran melalui pengaitan dengan mata kuliah relevan, mendorong penelitian tentang proses politik, dan mengembangkan proyek-proyek civic engagement.

Sebagai simpulan dikotomi artifisial antara “ruang akademik murni” dan “politik praktis”, merupakan kedunguan yang musti nya tidak dilakukan oleh mereka yang merasa terpelajar, justru merasa perlu mengembangkan model keterlibatan yang konstruktif, di mana kampus bisa dan seharusnya menjadi ruang di mana teori bertemu praktik, sambil tetap mempertahankan integritas nya sebagai institusi pendidikan.

Mahasiswa tidak boleh terjebak pada pembatasan rigid yang kontraproduktif, melainkan pengembangan model keterlibatan yang cerdas dan bertanggung jawab. Dengan demikian, kampus bisa menjalankan perannya yang lebih luas dalam penguatan demokrasi dan pembentukan warga negara yang kritis sekaligus aktif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *