Kholid, Nelayan yang Mengguncang Forum ILC dengan Suara Keadilan

Nasional1282 Dilihat

Jakarta – Nama Kholid, seorang nelayan dari Tangerang, mendadak menjadi perhatian publik setelah tampil lantang dalam program diskusi Indonesia Lawyers Club (ILC). Dalam forum yang dipandu Karni Ilyas, Kholid mengungkap dugaan pelanggaran hukum terkait tembok laut sepanjang 30 kilometer yang disebut telah mengancam mata pencaharian nelayan di perairan Tangerang.

Kholid, yang dikenal sebagai pria sederhana, memulai pernyataannya dengan nada tenang namun sarat makna. “Kalau masyarakat kecil salah, bahkan mencuri kayu untuk bikin rumah saja, langsung dihukum. Tapi ini, pagar sepanjang 30 kilometer, kok dibiarkan? Negara diam. Nunggu apa? Kalau negara takut, saya tidak. Saya lawan!” ucapnya dengan suara bergetar menahan amarah.

Suasana studio seketika berubah. Publik yang menyaksikan tertegun mendengar keberanian Kholid, yang tidak hanya berbicara atas nama dirinya sendiri tetapi juga membawa segudang data yang mendukung argumennya. Ia menyoroti dampak tembok laut tersebut terhadap ruang gerak nelayan yang kini semakin terbatas. Laut, yang selama ini menjadi sumber kehidupan mereka, telah berubah menjadi “kandang” yang terkunci.

Nama-Nama Besar Disebut

Keberanian Kholid semakin membuat diskusi memanas ketika ia secara terbuka menyebut nama-nama besar yang diduga terlibat dalam pembangunan tembok laut itu. Ia menyebut seorang pengusaha ternama, Aguan, bersama dua bawahannya, Ali Hanafiah dan Engcun. Pernyataan ini sontak membuat suasana forum hening sesaat, sebelum moderator mengalihkan perhatian ke pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Namun, publikasi langsung gaduh. Nama-nama tersebut menjadi pembicaraan hangat di media sosial dan berbagai platform diskusi. Meskipun beberapa pihak mendukung keberanian Kholid, ada juga yang mengingatkan bahwa penyebutan nama tanpa bukti kuat dapat berisiko hukum.

Hukum yang Berat Sebelah

Dalam pernyataannya, Kholid juga mengkritik hukum yang dianggapnya sering berat sebelah. “Pemanfaatan ruang laut itu ada aturannya. Tanpa izin, jelas melanggar hukum. Tapi, kenapa hukum seperti lupa arah kompas kalau berhadapan dengan orang besar?” tanyanya tajam.

Ia menyoroti bagaimana hukum dengan mudah menghukum masyarakat kecil, sementara kasus-kasus yang melibatkan pihak berkuasa sering kali tidak tersentuh. Bagi Kholid, ini bukan hanya soal pelanggaran hukum, tetapi juga soal keadilan bagi para nelayan yang hidup dari laut.

Simbol Perlawanan

Penampilan Kholid di ILC menuai simpati dari berbagai kalangan. Media sosial ramai dengan dukungan, menyebutnya sebagai “suara rakyat kecil” yang selama ini jarang terdengar. Meski begitu, dukungan itu juga diiringi peringatan agar ia berhati-hati menghadapi risiko yang mungkin timbul.

Namun, bagi Kholid, perjuangan ini bukan tentang dirinya sendiri. “Laut ini bukan milik mereka yang punya tembok tinggi. Laut ini milik kita semua, milik anak-anak kami,” tegasnya.

Kasus tembok laut ini kini telah menjadi isu nasional. Berbagai pihak, termasuk LSM dan masyarakat umum, mendesak pemerintah untuk segera menyelidiki dugaan pelanggaran hukum tersebut. Meski demikian, hingga kini belum ada tindakan nyata yang diambil pemerintah. Seperti kata Kholid, “Negara seolah nunggu apa.”

Kholid tetap melaut seperti biasa, tetapi kini ia bukan sekadar nelayan. Ia telah menjadi simbol perlawanan dan keberanian, seorang pria sederhana yang dengan suaranya berhasil mengguncang tembok besar kekuasaan. Ceritanya menjadi inspirasi bagi banyak orang bahwa suara kecil pun mampu menembus keheningan dan membawa perubahan.

 

Komentar