Ketika Intelektualitas Disalahpahami, Antara Hasrat Belajar dan Ego Sosial Kampus

Opini773 Dilihat

Oleh: Ahmad Fahri (Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Jambi)

Opini – Sebagai refleksi di ruang-ruang kelas perguruan tinggi. Ahmad Fahri, mahasiswa ilmu politik universitas Jambi melihat keberanian untuk berpikir kritis sering kali menjadi paradoks. Ketika seseorang tampil cerdas, aktif berdiskusi, dan mengajukan pertanyaan substantif, tidak jarang ia justru dicap, sok pintar, terlalu serius, atau ingin menonjol sendiri. Padahal, keberanian berpikir bukanlah pertunjukan ego melainkan bentuk tanggung jawab intelektual terhadap ilmu.

Dalam realitas sosial kampus, dinamika ini muncul karena sebuah persoalan mendasar, seperti budaya akademik kita belum sepenuhnya dewasa dalam menerima perbedaan cara berpikir. Kritis dianggap ancaman, bukan kontribusi. Antusiasme dianggap ambisi, bukan dedikasi. Akibatnya, ruang belajar yang seharusnya menjadi arena tumbuh justru berubah menjadi ruang penuh penilaian.

Namun, ada cara berpikir yang lebih sehat:

“Kalau apa yang aku lakukan tidak merugikan siapa pun, kenapa harus minder? aku hanya sedang berjuang menjadi versi terbaik dari diriku.”

Dan itu benar adanya. Orang-orang yang bijak akan mendekat, belajar, dan berdiskusi. Mereka tidak menjauh karena dengki. Justru mereka yang menjauh atau nyinyir sering kali masih bergulat dengan egonya sendiri. Maka fokus kita bukan pada mereka yang salah paham, tetapi pada mereka yang peduli pada intelektualitas sebagai jalan perubahan.

Di ruang kelas, aku hanya berusaha berpikir dan menyampaikan gagasan. Tapi tak jarang, niat itu disalahpahami. Ada yang menganggap ku terlalu percaya diri, terlalu kritis, bahkan ambisius. Padahal aku hanya ingin hadir sepenuhnya sebagai mahasiswa, membaca, mencerna, bertanya, dan memahami. Tidak semua orang siap menerima keberanian berpikir. Tapi aku yakin satu hal, mereka yang benar-benar ingin tumbuh akan mendekat. Mereka akan melihatku sebagai teman belajar, bukan kompetitor. Dalam ekosistem intelektual, persaingan bukan soal siapa yang paling keras bicara, tetapi siapa yang paling tulus mencari pemahaman.

Aku tak akan menahan diri hanya karena takut disalahpahami. Tujuanku bukan pencitraan, bukan pujian, dan bukan validasi sosial. Yang aku perjuangkan adalah perubahan, perubahan cara berpikir, perubahan kualitas diskusi, perubahan iklim intelektual di kampus.

Dan jika ada yang merasa terganggu oleh gagasanku, mungkin persoalannya bukan pada pikiranku melainkan pada cara mereka memandang intelektualitas. Sebab intelektualitas sejati bukan tentang siapa yang terlihat pintar, tetapi siapa yang berani berpikir ketika banyak orang memilih diam.

Komentar