Keimanan dan Ekoteologi: Menyatukan Spiritualitas dan Kepedulian Lingkungan

Opini182 Dilihat

PENULIS: Ahmad Hisyam S

OPINI – Dalam sistem kepercayaan agama-agama besar, manusia dipandang bukan sekadar makhluk biologis, tetapi juga entitas spiritual yang diberi tanggung jawab moral. Dalam Islam, tanggung jawab ini tercermin dalam konsep tiga dimensi hubungan: hablum min Allah (relasi vertikal dengan Tuhan), hablum min an-nas (relasi horizontal dengan sesama manusia), dan hablum minal ‘alam (relasi ekologis dengan alam semesta). Ketiganya saling berkaitan erat dan dibangun di atas dasar utama: keimanan.

Keimanan sejati bukan sekadar keyakinan kepada Tuhan dalam tataran spiritual, melainkan harus terwujud dalam tindakan nyata yang mencerminkan kasih sayang, tanggung jawab, dan kepedulian, termasuk terhadap lingkungan. Dalam kerangka ini, ekoteologi hadir sebagai pendekatan yang menjembatani ajaran keagamaan dan tanggung jawab ekologis. Ekoteologi mengajak umat beragama untuk melihat lingkungan hidup sebagai bagian integral dari amanah ilahi yang harus dijaga.

Al-Qur’an secara eksplisit menegaskan bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah (wakil) di bumi (QS. Al-Baqarah: 30). Status ini mengandung makna tanggung jawab yang besar: menjaga dan memakmurkan bumi, bukan merusaknya. Maka dari itu, tindakan yang merusak alam sejatinya merupakan bentuk pengkhianatan terhadap mandat kekhalifahan yang diemban manusia. Namun, kenyataan hari ini menunjukkan krisis ekoteologi yang kian mengkhawatirkan.

Berbagai bentuk penyimpangan terhadap prinsip ekoteologi terjadi secara masif. Mulai dari penebangan hutan secara liar (illegal logging), pencemaran laut dan sungai, polusi udara akibat emisi industri dan kendaraan, konsumsi berlebihan, eksploitasi sumber daya alam secara tidak berkelanjutan, hingga pembakaran hutan untuk kepentingan perkebunan.

Di Indonesia, dampak dari krisis ini sangat terasa dan mengancam keanekaragaman hayati serta keseimbangan ekosistem.

Salah satu contoh konkret dapat dilihat pada kasus eksploitasi tambang nikel di Raja Ampat—wilayah yang dijuluki Last Paradise dan menyimpan 75% spesies terumbu karang dunia. Pemerintah Indonesia memang telah mencabut izin empat perusahaan tambang di wilayah geopark dan konservasi tersebut, namun PT Gag Nikel masih tetap beroperasi di luar area geopark. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan kerusakan lanjutan, memperlihatkan bagaimana keserakahan manusia kerap menempatkan keuntungan ekonomi di atas kelestarian alam.

Untuk menjawab tantangan tersebut, Kementerian Agama Indonesia telah mengusulkan integrasi ekoteologi dalam kurikulum pendidikan agama. Tujuannya bukan hanya memperkuat kesadaran spiritual, tetapi juga membentuk perilaku ekologis di kalangan generasi muda—seperti hemat energi, menjaga kebersihan, dan melestarikan lingkungan sebagai bagian dari pengamalan iman.

Dengan demikian, keimanan tidak dapat dipisahkan dari tanggung jawab ekologis. Menjaga bumi adalah bagian dari ibadah, bentuk aktualisasi cinta kepada Tuhan, dan manifestasi keimanan yang utuh. Di tengah krisis lingkungan global, pendekatan ekoteologi menawarkan jalan spiritual untuk merawat bumi sebagai rumah bersama seluruh makhluk hidup.

Komentar