Oleh: Muhadir Azis (Dosen UIN PALOPO)
Di era digital, satu kata bisa mengubah citra, menumbuhkan cinta, atau justru menimbulkan luka. Itulah yang dialami Prof. Nasaruddin Umar ketika potongan ucapannya tentang guru viral di media sosial. Namun, alih-alih bertahan dengan sikap defensif, beliau memilih jalan yang lebih luhur: memohon maaf. Sebuah langkah sederhana, tetapi sarat makna, yang memperlihatkan kematangan spiritual seorang pemimpin.
Potongan kalimat beliau, “Kalau mau cari uang, jangan jadi guru, jadi pedaganglah” sempat menimbulkan ketersinggungan. Namun Prof. Nasaruddin segera menyampaikan klarifikasi penuh kerendahan hati:
“Saya menyadari bahwa potongan pernyataan saya tentang guru menimbulkan tafsir yang kurang tepat dan melukai perasaan sebagian guru. Untuk itu, saya memohon maaf yang sebesar-besarnya. Tidak ada niat sedikit pun bagi saya untuk merendahkan profesi guru.”
Dalam konteks utuh, pidato itu disampaikan pada forum Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang diikuti lebih dari 200 ribu guru. Pesannya bukan sekadar soal administrasi profesi, melainkan ajakan agar guru menguatkan fondasi spiritual. Klarifikasi dan kata maaf ini justru menegaskan gagasan besar beliau: membangun pendidikan berbasis cinta, di mana guru bukan sekadar pengajar, tetapi teladan yang menebarkan kasih sayang.
Dalam kearifan lokal Bugis-Makassar, kepemimpinan ditopang tiga nilai: lempu’ (jujur), getteng (teguh), dan sipakatau (memanusiakan manusia). Meminta maaf adalah wujud nyata dari ketiganya—jujur dalam mengakui kekhilafan, teguh menjunjung kebenaran di atas gengsi, dan memanusiakan guru dengan penghormatan.
Imam al-Ghazali pernah menulis dalam Ihya’ Ulumuddin:
“Orang bijak tidak menunggu untuk bersalah agar meminta maaf; dia memaafkan dan meminta maaf untuk menjaga persaudaraan dan ketenangan hati.”
Begitu pula Rabia al-Adawiyah mengingatkan:
“Ketulusan bukan hanya saat kau benar, tetapi saat kau mengutamakan kedamaian atas ego.”
Dua pesan ini memperkuat makna sikap Prof. Nasaruddin. Kata maaf bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan spiritual yang menjaga harmoni sosial dan menghidupkan nilai cinta dalam kehidupan bersama.
Lebih luas, peristiwa ini mengajarkan pentingnya tabayun—klarifikasi sebelum berkomentar. Di era ketika viralitas kerap mendahului penjelasan, tabayun menjadi bentuk cinta intelektual sekaligus spiritual. Kata maaf yang tulus bukan merendahkan wibawa, justru mempertebal kepercayaan.
Rasulullah ﷺ sendiri menjadi teladan terbaik. Beliau tidak segan memohon maaf, bahkan kepada orang yang menyakitinya. Teladan itu kini tercermin dalam sikap Prof. Nasaruddin: menjadikan kata maaf sebagai kekuatan, bukan kelemahan.
Di tengah riuh percakapan digital, kata maaf dari seorang pemimpin bukan sekadar meredakan polemik. Ia adalah cahaya cinta, energi sosial yang memperkuat ikatan kebangsaan, dan penegasan bahwa inti kepemimpinan adalah kasih sayang, bukan kekuasaan.
Komentar