Kartini, Tubuh Perempuan, dan Pilihan: Dari Emansipasi Menuju Edukasi

Opini514 Dilihat

Oleh: Rabiatul Hayati

OPINI – Bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini sebagai bentuk penghormatan terhadap sosok pahlawan perempuan yang memperjuangkan hak-hak perempuan, terutama dalam bidang pendidikan. Namun di tengah perayaan simbolik tersebut, penting untuk kembali merefleksikan gagasan Kartini secara lebih mendalam khususnya mengenai keterkaitan antara perempuan, tubuh, dan pilihan.

R.A. Kartini bukan hanya tokoh emansipasi yang memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan. Lebih dari itu, ia telah menanamkan kesadaran bahwa perempuan berhak memiliki kendali atas tubuh dan hidup mereka. Dalam konteks ini, emansipasi tidak berhenti pada kesetaraan pendidikan, tetapi juga menyangkut hak-hak kesehatan, otonomi tubuh, dan kesejahteraan jiwa perempuan secara menyeluruh.

Sayangnya, di balik narasi kemajuan, realitas perempuan Indonesia hari ini masih menyimpan tantangan yang tak sedikit. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), lebih dari 60% perempuan usia subur mengalami anemia ringan hingga sedang. Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 menunjukkan angka kematian ibu yang masih tinggi, yakni 180 per 100.000 kelahiran hidup.

Ketimpangan gender juga masih terjadi dalam akses layanan kesehatan, terutama di daerah terpencil. Survei UNFPA mengungkapkan bahwa hanya 40% perempuan di wilayah pelosok merasa nyaman mengakses layanan kesehatan.

Stigma sosial, rasa malu, serta minimnya edukasi tentang kesehatan reproduksi, menstruasi, dan kontrasepsi menjadi hambatan nyata. Tak hanya itu, dunia medis pun belum sepenuhnya inklusif terhadap kebutuhan tubuh perempuan. Penelitian dan uji klinis masih banyak berfokus pada tubuh laki-laki sebagai standar utama.

Masalah kesehatan mental perempuan pun sering diabaikan. Kondisi seperti depresi pascapersalinan, kecemasan, dan stres akibat peran ganda—sebagai istri, ibu, dan pekerja masih dianggap tabu untuk dibicarakan secara terbuka.

Semua ini menunjukkan bahwa perjuangan Kartini belum usai. Gagasan “emansipasi menuju edukasi” harus dimaknai sebagai ajakan untuk memperluas pemahaman perempuan terhadap hak-haknya, termasuk hak atas tubuh dan kesehatan. Pendidikan yang diperjuangkan Kartini bukan hanya soal kemampuan akademik, tetapi juga menyangkut keberdayaan perempuan secara menyeluruh.

Momentum Hari Kartini adalah pengingat bahwa kesetaraan sejati baru akan tercapai ketika perempuan mampu memilih, bersuara, dan mengambil kendali atas hidup dan tubuh mereka sendiri. Dari emansipasi menuju edukasi dari dibebaskan menjadi mampu membebaskan.

Komentar