Kajian Tasawuf: Berqurban dalam Realitas Global

Opini143 Dilihat

PENULIS: ABD AZIS A

Qurban berasal dari Bahasa Arab “qaraba” artinya “dekat” atau kata lain “mendekatkan” diri dari Sang Pemilik (Allah SWT) . Berqurban dengan istilah harfiahnya ialah bentuk keikhlasan atas kepemilikan materi dengan kemampuan secara finansial.
Berqurban dimomentum Hari Raya Id Adha yang setiap tahunnya dilaksanakan dengan hukum _Sunnah Muakkadah_ (sangat dianjurkan) yang dimana mengandung makna spiritual dan muamalah yang mendasar dan spesifik.

Surah Al-Hajj ayat 34:
” _Dan bagi setiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), agar mereka menyebut nama Allah atas rezeki yang dikaruniakan Allah kepada mereka berupa hewan ternak”._

Penafsiran ayat ini, dimana kurban merupakan bagian dari syariat agama Islam untuk setiap umat.

_Tasawuf_ dalam konsep dan kontekstualnya ialah, ibadah dengan simbol atau perwujudan materi dengan penyembelihan hewan yang sudah ditentukan syaratnya. Sebagai makna haqiqihnya ialah pengendalian sifat keegoan (nafs), kecintaan akan duniawi, kepemilikan mutlak dalam subtansi materialisme.

Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, mengatakan bahwa:
_” Qurban adalah simbol penghilangan sifat dan nafsu hewani yang menghalangi manusia untuk dekat dengan Allah.”_

Dalam perspektif tasawuf, qurban bukan hanya sekedar aktivitas ritual dalam bentuk ekspresi atau fisik, tetapi menumbuhkan sifat tajalli (manifestasi) cinta kepada Allah. Dengan demikian makna Qurban mengandung tiga dimensi utama:

_Pengorbanan Nafsu_ : Menyembelih hewan menjadi simbol menyembelih hawa nafsu, egoisme, dan keterikatan duniawi, menjadikan duniawi sebagai hal mutlak yang harus kita miliki. Hal utama ialah kesadaran diri untuk pengenalan jiwa bahwa apa yang kita miliki hanyalah amanah sebagai amanat yang harus kita pahami. Setiap yang kita miliki ada hak-hak selain kita dan di setiap kepunyaan akan diminta pertanggungjawaban kepada Sang Pemilik Hak(Allah SWT).

_Cinta Ilahiah (Mahabbah_ ):
Qurban adalah ekspresi cinta sejati kepada Allah, sebagaimana dicontohkan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail yang rela mengorbankan hal paling dicintainya demi ketaatan.

_Tawakkul dan Kepasrahan_ :
Dalam tasawuf, qurban mengajarkan sikap tawakkul dan pasrah total serta keikhlasan semata-mata atas kehendak Allah SWT, sebagaimana yang diperlihatkan dalam kisah-kisah para Nabi sebelumnya:

– _Khabil_ dan _Qabil_ _(anak Nabi Adam AS_ ) dengan kurbannya memberikan yang terbaik dari yang baik ( _Khabil_ ), dan memberikan kurbannya dengan hasil yang buruk meskipun ada yang terbaik ( _Qabil_ ).
– _Nabi Ayyub_ diuji dengan tingkat keikhlasan dan kesabaran dengan kehilangan seketika: Harta, anak-anaknya dan ujian fisik selama 18 tahun, dimana Nabi Ayyub sebelumnya sangatlah dikenal dari kalangan ummatnya yang dermawan atas kekayaan yang dimiliki dan tak putus-putusnya untuk selalu berqurban, akan tetapi Allah berkehendak lain dengan menguji sifat kedermawanannya dan loyalitas spiritnya, setelah sekian lama Nabi Ayyub mengalami dan menjalani dengan penuh keihklasan dan kesabaran yang tinggi seketika itu pula Allah mengembalikan keturunannya, kesempurnaan spiritnya dan melipatgandakan kekayaannya yang lebih sempurna dan terbaik dari sebelumnya.
– _Nabi Yusuf_ pengorbanan dan kesabaran serta keikhlasan yang sangat tinggi atas sikap dan perlakuan yang dialami. Dimana Nabi Yusuf rela kehilangan keluarganya sejak kecil dan selalu sabar meskipun dikhianati oleh saudara-saudara kandungnya sendiri, hidup diperbudak di negeri asing, menjaga keimanan dan ketaqwaan atas kehormatan yang dimiliki.
– _Nabi Ibrahim_ dengan makna lahiriah pengorbanan yang dilakukan kepada anak kandungnya ( _Nabi Ismail_ ) yang diperintahkan Allah SWT melalui petunjuk mimpi. Makna haqiqihnya bentuk manifestasi iman dan taqwa, ( _Fana_ ), dalam konteks fana merapuhkan kehendak diri di hadapan kehendak Allah SWT. ( _Tajarrud_ ), Cinta kepada Allah yang lebih utama mengalahkan kecintaan kepada makhluk, bahkan terhadap yang paling kita cintai. Membebaskan diri dari keterikatan duniawi dan kecendrungan materialisme. ( _Nafsu Mahbubah_ ) penyembelihan terhadap ego yang halus, bukan hanya pengorbanan fisik. Ini menandai tingkatan tertinggi _Tazkiyatun Nafs_. Selanjutnya ( _Tauhid_ ), bukan sekadar meyakini diri atas keesaan Allah, tapi mengosongkan hati dari selain Allah SWT. Implementasi dari peristiwa yang dialami Nabi Ibrahim bukan sekedar konseptual lahiriah lewat tindakan melainkan dengan perjalanan wujud dan bathin pengenalan diri menuju jalan Ma’rifatullah.

– _Nabi Ismail_ Pengorbanan sebagai lambang penyerahan total ( _Taslim_ bertaslim ), kerelaan jiwa ( _bukti Keridhaan_ ), dan kefanaan ego ( _sifat Fana’_ ) di hadapan kehendak Ilahi. Dalam sudut pandang sufistik, peristiwa ini bukan hanya sekadar tindakan fisik, tetapi sebuah simbol transformasi spiritual tertinggi bagi seorang seseorang salik (_dalam proses perjalanan Ma’rifatullah_ ) . Jalaluddin Rumi dalam penafsirannya, _”Nabi Ismail bukan sekadar anak, tapi sebagai simbol nafsu-nafsu yang paling halus dan tersembunyi, rasa kepemilikan, kebanggaan, cinta akan dunia yang dibungkus cinta keluarga.”_

Berqurban di Tengah Realitas Global. Di era globalisasi, masyarakat dunia menghadapi tantangan besar: krisis kemanusiaan, ketimpangan ekonomi, kerusakan lingkungan, dan kekosongan spiritual. Qurban, jika dimaknai secara sufistik, menawarkan solusi transformatif, sbb:

Melawan Materialisme: Qurban mengajarkan untuk tidak terikat pada harta. Dalam tasawuf, pelepasan terhadap dunia ( _zuhud_ ) adalah langkah menuju kebebasan rohani.

Empati Sosial: Ibadah qurban menumbuhkan kasih sayang, kepedulian kepada kaum dhuafa, dan menyadarkan bahwa rezeki adalah titipan-amanah yang harus dibagikan.

Membangun Kesadaran Global: Spirit qurban mendorong umat untuk tidak hanya berqurban secara ritual, tapi juga secara sosial-mengorbankan kenyamanan pribadi demi kemaslahatan bersama dengan peduli pada isu-isu kemanusiaan global. Selanjutnya sebagai jalan _Tazkiyatun Nafs_ Sufi menekankan bahwa qurban adalah sarana tazkiyatun nafs ( _penyucian jiwa_ ). Dalam konteks global yang penuh godaan duniawi, qurban menjadi momentum bermuhasabah yakni, mengikis sifat tamak, rakus, dan egois. Menumbuhkan sifat ikhlas, syukur, dan tawadhu’. Membuka tranformasi spritual menuju ma’rifatullah (pengenalan diri dan terlebihnya kepada Allah Azza wa Jalla ).

Praktik Sufistik dalam Qurban di era Globalisasi, mengidentifikasikan beberapa tarekat dan gerakan spiritual kontemporer telah menafsirkan qurban secara lebih luas:

_Qurban Sosial_ : Menyisihkan harta atau waktu untuk melayani kemanusiaan.

_Qurban Intelektual_ : Menyumbangkan ilmu dan pikiran demi peradaban.

_Qurban Lingkungan_ : Menahan konsumsi berlebihan demi menjaga keseimbangan bumi.

Berqurban dalam pandangan tasawuf adalah proses spiritual mendalam yang tidak hanya terbatas pada penyembelihan hewan saja, melainkan perwujudan pengorbanan ego dan dunia demi mendekat kepada Tuhan. Dalam realitas global yang sedang kehilangan nilai-nilai spiritual dan solidaritas, pendekatan sufistik terhadap qurban mampu menghidupkan kembali kesadaran akan makna hidup yang sesama-yakni pengabdian, cinta, dan pengorbanan untuk Allah dan sesama.

Komentar