Hak Demokrasi atau Anarkisme? Refleksi atas Gelombang Demo Mahasiswa dan Rakyat

Opini149 Dilihat

OPINI – Dua pekan terakhir, negeri kita tengah diguncang berbagai dinamika politik dan sosial. Pemicunya adalah kebijakan DPR RI yang dinilai tidak sensitif terhadap kondisi rakyat, khususnya setelah pidato kenegaraan yang diikuti kabar kenaikan gaji anggota DPR hingga diperkirakan Rp3.000.000 per hari. Situasi ini kian memanas ketika publik disuguhi pemandangan yang tidak pantas—beberapa anggota dewan berjoget di ruang terhormat parlemen, seolah abai terhadap keresahan masyarakat yang justru menghadapi kenaikan pajak signifikan.

Gelombang kekecewaan rakyat pun tak terbendung. Mahasiswa, sebagai motor gerakan moral, turun ke jalan. Bahkan, di Kabupaten Pati, isu pajak yang naik hingga 300% semakin memperkeruh keadaan. Pernyataan arogansi seorang bupati yang menantang massa dengan kalimat: “Jangankan 5.000, 50 ribu orang pun akan kami hadapi” justru memperuncing ketegangan. Narasi itu menyebar cepat di media massa, cetak, televisi, hingga media sosial, mendorong daerah lain untuk ikut menyuarakan protes.

Tragedi pun tak terhindarkan. Di Bone, gedung DPRD Makassar dan DPRD Sulawesi Selatan dibakar massa. Korban jiwa jatuh, termasuk almarhum Syaiful Akbar, warga Palopo, yang meninggal setelah terjebak dalam kobaran api. Peristiwa ini menjadi bukti betapa tipisnya batas antara demonstrasi sebagai ekspresi demokrasi dengan anarkisme yang menimbulkan petaka.

Di warung kopi, banyak tafsir berkembang: ada yang menyebut aksi ini spontanitas, ada pula yang menduga ada pihak menunggangi. Semua sah-sah saja. Namun, perlu kedewasaan dalam melihat persoalan ini.

Sebagai mantan pimpinan lembaga kampus dan organisasi ekstra, saya meyakini menyuarakan hak demokrasi adalah keniscayaan. Namun, bila dilakukan secara berlebihan, justru bisa merugikan masyarakat sendiri. Seperti pajak saya sepakat itu adalah kewajiban, tetapi kebijakan kenaikan harus disertai kajian mendalam, sosialisasi matang, serta mempertimbangkan daya tahan ekonomi rakyat. Tokoh masyarakat, akademisi, dan berbagai stakeholder seharusnya dilibatkan dalam dialog publik sebelum keputusan diambil.

Pemerintah harus ingat: rakyat bukan menolak pajak, tetapi butuh kejelasan untuk apa pajak dipungut. Selama transparan dan dikembalikan ke masyarakat melalui pembangunan infrastruktur serta bantuan sosial, masyarakat akan tetap patuh. Tugas aparatur negara, termasuk petugas pajak, adalah hadir di forum-forum masyarakat dan kampus untuk menjelaskan duduk persoalan dengan jernih.

Demikian pula dengan aparat keamanan. Menghadapi massa bukan dengan cara represif, apalagi ketika mereka sudah lelah, emosi, dan kalut. Tindakan membentak, mengancam, atau memaksa hanya akan memicu amarah kolektif. Sebaliknya, pendekatan persuasif yang humanis lebih bijak untuk meredam eskalasi.

Kepada para demonstran, khususnya koordinator lapangan, saya berpesan: jadilah orator yang bukan hanya mampu membakar semangat, tetapi juga mengendalikan massa. Ingat, sedikit saja salah langkah, tuntutan murni rakyat bisa bergeser menjadi kerusuhan destruktif yang justru merugikan perjuangan itu sendiri. Merusak fasilitas publik yang dibangun dari pajak rakyat adalah sebuah kontradiksi.

Sebagai anak Luwu, saya ingin mengingatkan: kita punya kearifan lokal yang luhur sipakatau, sipakainge’, sipakalebbi. Nilai-nilai inilah yang seharusnya menjadi pegangan, agar perjuangan rakyat tidak berubah menjadi anarkisme. Bumi Batara Guru, tanah Sawerigading, warisan Andi Jemma, pantang dinodai oleh tindakan destruktif.

Demonstrasi adalah hak rakyat, anarkisme adalah pengkhianatan terhadap demokrasi. Semoga gonjang-ganjing ini segera mereda, dan bangsa kita kembali belajar untuk mengedepankan dialog, bukan kekerasan.

Penulis:
Achmad Badawi, S.Ag., S.Kom., M.Pd., M.Kes.

  • Ketua BEM/ Senat IAIN Palopo (1994–1996)
  • Ketua Cabang PMII (1996–2001)
  • Ketua PBNI Sulsel (1997–2002)
  • Ketua III STIKES Kurnia Jaya Persada (2007–2008)
  • Ketua STIKES Nusantara (2008–2011)
  • Sekum PKC PMII Sulsel (2001–2003)
  • Ketua DPD HIPNIKIMDO Sulsel (2014–2019)
  • Ketua GP Ansor Luwu (2010–2015)
  • Sekum PC NU (2021–2026)

Komentar