OLEH: Nasruddin,S.M., M.M (Anas)
OPINI: Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan kebangkitan keterlibatan politik generasi muda, khususnya Generasi Z. Dengan akses tanpa batas ke teknologi, mereka tampil sebagai generasi yang vokal dalam memperjuangkan perubahan, terutama dalam isu-isu global seperti perubahan iklim, keadilan sosial, dan kesetaraan gender. Namun, di balik semangat besar ini, ada tantangan signifikan, banyak dari mereka belum sepenuhnya memahami cara kerja politik yang kompleks. Apa yang menyebabkan kesenjangan ini, dan bagaimana kita bisa menanganinya?
Antusiasme Politik yang Tumbuh Pesat
Data menunjukkan bahwa Generasi Z adalah generasi yang sangat peduli terhadap isu-isu sosial. Sebuah survei oleh Pew Research Center (2022) menunjukkan bahwa 70% dari Generasi Z di Amerika Serikat berpendapat bahwa pemerintah harus berbuat lebih banyak untuk mengatasi perubahan iklim. Fenomena ini tidak terbatas di AS; di Indonesia, survei LIPI pada tahun 2021 menunjukkan bahwa lebih dari 60% anak muda tertarik untuk ikut serta dalam kegiatan politik, baik melalui media sosial maupun langsung di lapangan.
Namun, partisipasi ini sering kali terbatas pada gerakan simbolis, seperti mengikuti tren hashtag atau kampanye media sosial. Meskipun hal ini penting untuk membangun kesadaran, tanpa pemahaman mendalam tentang cara kerja sistem politik, misalnya, bagaimana kebijakan dibuat dan bagaimana proses legislasi bekerja perubahan yang diharapkan sering kali tidak tercapai dengan cepat. Pada akhirnya, ini menyebabkan kekecewaan di kalangan anak muda ketika mereka merasa suara mereka tidak didengar.
Politik Simbolis dan Efeknya
Generasi Z tumbuh di era digital, di mana informasi didapatkan secara instan dan segala sesuatu tampak dapat diubah dengan cepat. Namun, proses politik di dunia nyata sering kali memerlukan waktu lebih lama dan melibatkan banyak kompromi. Di sinilah tantangan muncul: generasi muda cenderung menginginkan perubahan segera, tetapi politik adalah proses yang lambat dan penuh negosiasi.
Studi dari Harvard University (2020) menunjukkan bahwa generasi muda yang terlibat dalam politik cenderung lebih memilih tindakan simbolis, seperti bergabung dengan protes atau berbagi konten politik di media sosial, daripada terlibat langsung dalam proses pembuatan kebijakan. Ini menyebabkan politik generasi muda lebih bersifat reaktif daripada strategis.
Kurangnya Pendidikan Politik yang Mendalam
Salah satu alasan utama di balik ketidakpahaman ini adalah kurangnya pendidikan politik formal. Sistem pendidikan di banyak negara, termasuk Indonesia, masih belum memberikan perhatian yang cukup pada bagaimana sistem politik bekerja. Kurikulum politik di sekolah sering kali hanya mencakup teori dasar tanpa membekali siswa dengan keterampilan yang diperlukan untuk terlibat dalam politik secara efektif.
Data dari survei yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Politik LIPI (2021) menunjukkan bahwa 75% responden berusia 18-24 tahun merasa mereka tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang proses pembuatan kebijakan di negara mereka. Ini adalah masalah serius karena tanpa pemahaman yang memadai, antusiasme politik Generasi Z bisa tereduksi menjadi partisipasi yang dangkal, dan mereka menjadi lebih rentan terhadap disinformasi dan manipulasi politik.
Peran Media Sosial: Pedang Bermata Dua
Media sosial adalah kekuatan yang tak terbantahkan dalam memobilisasi dukungan politik, tetapi juga menghadirkan tantangan. Sebagai alat komunikasi utama bagi Generasi Z, media sosial memberikan platform yang luas untuk menyuarakan pendapat dan memobilisasi gerakan. Namun, algoritma media sosial sering kali mendorong konten yang sensasional, bukan konten yang mendidik atau menawarkan solusi.
Menurut laporan dari Reuters Institute (2021), 52% dari Generasi Z mengandalkan media sosial sebagai sumber utama berita mereka, yang sering kali kurang memadai dalam memberikan pemahaman yang mendalam tentang isu-isu politik. Hal ini menimbulkan tantangan besar dalam upaya membangun generasi muda yang kritis dan terinformasi dengan baik.
Solusi: Membangun Pendidikan Politik yang Lebih Baik
Untuk menjembatani kesenjangan ini, sangat penting untuk memperkuat pendidikan politik, baik melalui institusi formal maupun platform non-formal. Lembaga pendidikan harus mengintegrasikan kurikulum yang mengajarkan mekanisme politik secara lebih komprehensif, termasuk cara kerja parlemen, birokrasi, dan negosiasi kebijakan.
Selain itu, partai politik dan organisasi masyarakat sipil harus lebih proaktif dalam melibatkan generasi muda, tidak hanya dalam kampanye simbolis, tetapi juga dalam pembahasan kebijakan nyata. Keterlibatan yang lebih mendalam ini akan memungkinkan Generasi Z untuk memahami bahwa meskipun politik membutuhkan waktu, partisipasi strategis dapat membawa hasil yang berkelanjutan.
Kesimpulan
Generasi Z memiliki potensi besar untuk membawa perubahan dalam politik global. Antusiasme mereka dalam memperjuangkan isu-isu penting tidak diragukan lagi, tetapi untuk mewujudkan perubahan yang mereka inginkan, mereka harus memiliki pemahaman yang lebih dalam tentang cara kerja politik. Dengan pendidikan politik yang lebih baik dan keterlibatan yang lebih mendalam dalam proses kebijakan, Generasi Z bisa menjadi agen perubahan yang tidak hanya vokal, tetapi juga efektif.