Apa itu hilal dan hisab? Dua Cara Umat Muslim Menentukan Awal Ramadhan di Indonesia

Nasional90 Dilihat

Jakarta – Penentuan awal Ramadhan dilakukan dengan dua metode, yaitu rukyatul hilal dan hisab. Keduanya memiliki dasar ilmiah yang kuat, namun terdapat perbedaan mendasar antara keduanya. Rukyatul hilal merupakan metode observasi langsung untuk melihat kemunculan hilal atau Bulan sabit yang tampak setelah Matahari terbenam menjelang awal bulan Hijriah. Sementara itu, hisab adalah metode perhitungan berbasis matematika dan astronomi yang digunakan untuk menentukan posisi Bulan dalam menetapkan awal bulan dalam kalender Hijriah.

Dalam menentukan metode yang lebih akurat antara rukyatul hilal dan hisab, keduanya sebenarnya memiliki kedudukan yang setara. Seperti yang pernah dijelaskan oleh Prof. Dr. Thomas Djamaluddin, M.Sc., seorang ahli astronomi dan astrofisika dari Pusat Riset Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), kedua metode tersebut dapat saling menggantikan maupun melengkapi satu sama lain.

Menurutnya, tanda-tanda awal bulan yang berupa hilal dapat diamati secara langsung dengan mata melalui rukyat, atau dihitung secara matematis menggunakan hisab berdasarkan pola keteraturan fase Bulan serta data rukyat sebelumnya yang menunjukkan kemungkinan hilal dapat terlihat. Penjelasan ini ia sampaikan melalui akun Instagram @pussainsa_lapan saat membahas topik “Penentuan Ramadan dan Hari Raya Menurut Astronomi” beberapa waktu lalu.

Prof. Djamaluddin menjelaskan bahwa baik metode rukyatul hilal maupun hisab sebenarnya bersifat perkiraan, sehingga tidak ada yang benar-benar pasti. Masing-masing metode memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri.

Dalam rukyat, prinsip dasarnya adalah pengamatan langsung. Namun, pada kenyataannya, hilal sering kali sangat tipis dan dapat tertutup oleh cahaya lain, sehingga menimbulkan keraguan. Oleh karena itu, para pengamat hilal biasanya diminta bersumpah untuk memastikan apakah yang mereka lihat benar-benar hilal atau bukan.

Sementara itu, metode hisab memang memiliki keakuratan dalam perhitungan angka, tetapi untuk menentukan apakah awal bulan baru telah dimulai, tetap diperlukan kriteria tertentu sebagai acuan.

Perbedaan dalam penetapan awal bulan Ramadhan atau Idul Fitri di Indonesia sering terjadi. Menurut Prof. Djamal, hal ini bukan disebabkan oleh metode hisab atau rukyat, karena keduanya, dalam kajian astronomi, sebenarnya saling melengkapi dalam menentukan hilal.

“Secara umum, ada banyak faktor yang menyebabkan perbedaan tersebut. Namun, inti permasalahannya terletak pada perbedaan kriteria yang digunakan,” jelas Prof. Djamal.

Perbedaan dalam penentuan Idul Fitri tahun 1998 menjadi bukti bahwa perbedaan yang terjadi di Indonesia bukan disebabkan oleh metode hisab dan rukyat. Pada tahun tersebut, di kalangan Nahdlatul Ulama (NU), terdapat perbedaan pendapat di antara para ahli rukyat ketika ketinggian bulan berada di bawah satu derajat.

Di tingkat Pengurus Besar (PB) NU, kesaksian rukyat tersebut ditolak karena dianggap bahwa posisi bulan terlalu rendah. Namun, NU di Jawa Timur justru menerima kesaksian tersebut. Ini menunjukkan bahwa bahkan di antara para ahli rukyat yang menggunakan metode yang sama, bisa saja terjadi perbedaan pemahaman. Perbedaan ini pada dasarnya muncul dari perbedaan dalam menetapkan kriteria hilal.

Perbedaan dalam penentuan awal Ramadhan juga terjadi di kalangan ahli hisab, seperti di Muhammadiyah dan Persis. Perbedaan ini bukan karena metode hisab itu sendiri, melainkan disebabkan oleh perbedaan kriteria yang digunakan. Muhammadiyah menetapkan awal Ramadhan berdasarkan keberadaan bulan, sehingga jika hilal sudah muncul atau ketinggiannya di atas nol derajat, maka dianggap sudah memasuki bulan baru. Sementara itu, Persis berpegang pada kriteria kemungkinan hilal dapat terlihat. Jika belum memungkinkan untuk dirukyat, maka awal bulan baru belum dapat ditetapkan.

Akibat perbedaan tersebut, pada tahun 1998, dalam internal NU pun terjadi perbedaan dalam menentukan hari raya. Begitu juga dengan Muhammadiyah dan Persis, di mana Muhammadiyah merayakan Idul Fitri pada 29 Januari, sedangkan Persis menetapkannya pada 30 Januari.

Kasus yang terjadi pada tahun 1998 menjadi bukti nyata bahwa perbedaan dalam penentuan awal puasa dan Idul Fitri bukan disebabkan oleh metode hisab dan rukyat, melainkan perbedaan dalam kriteria yang digunakan. Hal ini juga menjadi titik awal untuk mencari solusi dalam menyatukan perbedaan tersebut.

“Pemerintah berupaya menciptakan satu sistem terpadu agar semua pihak dapat menerima dengan terbuka, sehingga terbentuk kalender yang lebih terstruktur dengan adanya otoritas tunggal, kriteria yang seragam, dan batas tanggal yang disepakati bersama,” ujar Prof.

Menurutnya, kriteria pada dasarnya merupakan hasil ijtihad yang bersifat fleksibel dan dapat digunakan sebagai sarana untuk menyatukan perbedaan. Ia berharap bahwa kriteria baru yang dirumuskan dapat menjadi langkah awal menuju kesepakatan bersama dalam menetapkan satu kriteria tunggal. Dengan demikian, kriteria tersebut dapat dijadikan pedoman oleh semua pihak dan berkontribusi dalam menyatukan umat.

Komentar

Baca Juga