OLEH: Fittroh Abdul Malik S.H (Lawyers MMS Law Firm)
OPINI – Kasus dugaan perselingkuhan yang melibatkan seorang Kepala Desa di Wonoagung dengan istri orang lain adalah sebuah fenomena sosial dan hukum yang kompleks. Kasus ini bukan hanya masalah privat, tetapi juga menyentuh ranah etika publik, kepercayaan masyarakat, dan penegakan hukum. Sebagai seorang praktisi hukum, saya melihat ada beberapa lapisan analisis yang perlu dibedah.
- Perspektif Hukum Pidana: Delik Perzinaan (Pasal 284 KUHP)
Secara yuridis, tindakan yang diduga dilakukan oleh Kepala Desa tersebut, jika memenuhi unsur-unsur pidana, dapat dikategorikan sebagai perzinaan yang diatur dalam Pasal 284 KUHP.
Unsur-Unsur Pidana Perzinaan (Pasal 284 KUHP):
- Subjek Hukum: Pasal ini hanya dapat dikenakan pada pria atau wanita yang terikat perkawinan. Dalam kasus ini, Kepala Desa diduga terikat perkawinan, dan wanita yang terlibat juga terikat perkawinan dengan orang lain. Unsur ini tampaknya terpenuhi.
- Perbuatan Pidana: Perbuatan yang dimaksud adalah melakukan mukah. Dalam konteks hukum pidana Indonesia, “mukah” diartikan sebagai “persetubuhan” atau “hubungan seksual di luar ikatan perkawinan yang sah.” Ini adalah inti dari delik perzinaan.
- Delik Aduan Absolut: Ini adalah elemen kunci yang membedakan perzinaan dari delik pidana lain. Proses hukum tidak dapat berjalan tanpa adanya aduan resmi dari pihak yang dirugikan (suami atau istri dari pelaku). Dalam kasus Kepala Desa Wonoagung, aduan tersebut harus datang dari istri Kepala Desa atau suami dari wanita yang diduga berselingkuh. Jika tidak ada aduan, kasus ini tidak akan pernah sampai ke pengadilan pidana.
- Sanksi: Ancaman pidananya adalah pidana penjara paling lama sembilan bulan.
Kritik Terhadap Pasal 284 KUHP:
Pasal ini sering kali menuai kritik karena dianggap terlalu “ringan” (ancaman pidana hanya 9 bulan) dan karena sifatnya sebagai delik aduan absolut. Beberapa pihak berpendapat bahwa perzinaan seharusnya menjadi delik biasa, mengingat dampak sosial dan kerusakan keluarga yang ditimbulkannya. Namun, argumen sebaliknya adalah bahwa perzinaan adalah urusan privat yang seharusnya diselesaikan dalam ranah keluarga, bukan melalui intervensi negara.
- Perbedaan Krusial: Selingkuh vs. Perzinaan
Secara awam, “selingkuh” sering kali disamakan dengan “perzinaan.” Namun, dalam kacamata hukum, keduanya memiliki perbedaan yang sangat signifikan.
- Selingkuh: Ini adalah istilah sosial yang tidak memiliki definisi yuridis yang baku. Selingkuh bisa mencakup berbagai tindakan, mulai dari hubungan emosional, komunikasi intens, hingga tindakan fisik yang tidak sampai pada hubungan seksual. Secara hukum, “selingkuh” tidak dapat dipidana.
- Perzinaan (Mukah): Ini adalah istilah hukum pidana yang secara spesifik mengacu pada perbuatan persetubuhan di luar ikatan perkawinan yang sah. Inilah perbuatan yang dapat dipidana berdasarkan Pasal 284 KUHP.
Dalam kasus Kepala Desa Wonoagung, penggerebekan yang dilakukan oleh adik ipar bisa menjadi bukti adanya “perselingkuhan.” Namun, untuk membuktikan “perzinaan” di pengadilan, jaksa penuntut umum harus dapat membuktikan bahwa telah terjadi hubungan seksual. Ini adalah tantangan terbesar dalam kasus ini.
- Tantangan Pembuktian: Dari Penggerebekan Hingga Vonis
Penggerebekan adalah langkah awal yang kuat, tetapi tidak cukup untuk membuktikan perzinaan di pengadilan. Proses pembuktian memerlukan serangkaian alat bukti yang sah.
- Alat Bukti Menurut KUHAP (Pasal 184):
- Keterangan Saksi: Keterangan dari adik ipar yang menggerebek bisa menjadi bukti penting. Namun, keterangan ini harus didukung oleh saksi lain.
- Keterangan Ahli: Dokter forensik bisa menjadi ahli jika ada pemeriksaan medis yang dilakukan terhadap para terduga.
- Surat: Bukti-bukti seperti surat cinta, pesan singkat, atau rekaman percakapan yang menunjukkan adanya hubungan.
- Petunjuk: Penggerebekan di tempat tertutup dalam situasi yang mencurigakan bisa menjadi petunjuk, tetapi petunjuk ini harus didukung oleh alat bukti lain.
- Keterangan Terdakwa: Pengakuan dari Kepala Desa atau wanita yang terlibat, meskipun seringkali sulit didapatkan.
Kendala Pembuktian:
- Tidak Ada Bukti Fisik: Penggerebekan tidak selalu menghasilkan bukti fisik berupa persetubuhan. Pihak yang digerebek bisa saja berdalih hanya sedang “berkumpul” atau “berbicara.”
- Beban Pembuktian: Jaksa harus membuktikan di luar keraguan yang masuk akal bahwa telah terjadi persetubuhan. Ini adalah standar pembuktian yang tinggi.
- Retorika dan Manipulasi: Pihak terduga bisa menyewa pengacara untuk meragukan bukti-bukti yang ada, misalnya dengan menuduh penggerebekan sebagai jebakan atau rekayasa.
- Dampak Sosial dan Etika Jabatan Kepala Desa
Terlepas dari proses hukum pidana, kasus ini memiliki dampak sosial dan etika yang signifikan.
- Kehilangan Kepercayaan Publik: Kepala desa adalah pemimpin dan simbol moral bagi masyarakatnya. Dugaan perselingkuhan merusak citra dan wibawa jabatan tersebut. Masyarakat Wonoagung pasti akan mempertanyakan integritas pemimpin mereka.
- Potensi Sanksi Administratif: Selain sanksi pidana, Kepala Desa juga bisa menghadapi sanksi administratif atau bahkan tuntutan mundur dari jabatannya. Hal ini bergantung pada peraturan desa dan tuntutan dari masyarakat.
- “Trial by Media”: Kasus ini, yang telah menjadi viral, akan menghakimi Kepala Desa di mata publik. Meskipun ia belum tentu bersalah secara hukum, citranya sudah terlanjur rusak.
Kesimpulan: Sebuah Timbangan antara Hukum, Moral, dan Kemanusiaan
Kasus Kepala Desa Wonoagung ini adalah sebuah studi kasus yang sempurna untuk memahami kompleksitas penegakan hukum dalam ranah privat.
- Hukum pidana hanya bisa menyentuh perzinaan, bukan perselingkuhan. Tanpa aduan resmi dan bukti persetubuhan yang kuat, kasus ini tidak akan pernah berakhir di vonis pidana.
- Beban pembuktian adalah tantangan terbesar. Penggerebekan hanya awal, tetapi tidak cukup untuk menjerat pelaku.
- Dampak moral dan etika jauh lebih besar daripada sanksi hukum. Meskipun lolos dari jerat pidana, Kepala Desa akan menghadapi “hukuman” dari masyarakat berupa hilangnya kepercayaan dan wibawa.
- Kasus ini menegaskan bahwa menjadi pemimpin adalah tanggung jawab yang mencakup kehidupan pribadi. Integritas seorang pemimpin tidak hanya diukur dari kinerja profesionalnya, tetapi juga dari moralitas dan etika dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pandangan saya, kasus ini menuntut masyarakat dan penegak hukum untuk bersikap objektif dan tidak terburu-buru dalam mengambil kesimpulan. Proses hukum harus berjalan sesuai koridornya, sementara masyarakat juga harus menyuarakan aspirasi mereka terhadap pemimpin yang tidak berintegritas.
Komentar