OLEH: Abd Azis A
OPINI: Dalam era modern yang serba instan dan materialistik, manusia kerap kehilangan transformasi intensitas atas keberadaannya dan untuk apa ia hidup. Kita disibukkan dengan pencapaian duniawi, namun sering lupa bertanya: Apakah aku sedang hidup sebagai manusia sejati, atau sekadar menjalani hidup sebagai mesin biologis? Dalam konteks inilah, dalam pendekatan sufistik menawarkan jawaban mendalam melalui konsep determinasi kemanusiaan.
Otoritas dalam paham sufistik memandang manusia bukan sekadar tubuh, pikiran, atau status sosial, tetapi sebagai makhluk spiritual yang memiliki potensi Ilahiah. Determinasi kemanusiaan sebagai wujud kesadaran dan tekad manusia untuk menemukan kembali jati dirinya sebagai makhluk yang diciptakan bukan tanpa tujuan, melainkan untuk mengenal dan mendekat kepada Penciptanya.
Deterministik dalam pandangan filsafat Barat “Filsafat Barat mendelegasikan dua kutub besar dalam determinasi kemanusiaan. Manusia ditentukan oleh Faktor Eksternal. Faktor Eksistensial dan Humanistik. Manusia menentukan keberadaan dirinya melalui kebebasan, akal, dan otoritas pilihan.
Pandangan filsafat Barat sangatlah eksklusif dan bervariatif, tetapi semuanya berusaha menjawab satu pertanyaan inti:Â “Apakah manusia punya kendali atas hidupnya, atau semuanya sudah ditentukan?” Konsep kebijaksanaan filsafat Barat cenderung melihat manusia sebagai produk sebab-akibat duniawi (kausalitas).
Oleh karena itu pakar Tasawuf dalam pandangan universalnya tidak menolak kedudukan hukum kausalitas dalam eksistensi alam semesta, melainkan hanya memposisikan yang sifatnya transendental sebagai wujud dasar untuk menjawab eksistensinya. Namun, para sufi tidak menganggap sebab sebagai penyebab hakiki (penyebab sejati). Bagi mereka, hanya Allah yang menciptakan menjadi asbab sejati (al-Musabbib al-Asli) atas segala sesuatu.
“Tiada suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan pada dirimu melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuz) sebelum Kami menciptakannya.” [QS. Al-Hadid: 22]
Manusia dalam deterministik pandangan sufi, mendudukkan eksistensi kemanusiaan sebagai musafir ruhani (perjalanan) , yang punya pilihan untuk naik menuju Allah (ma’rifat) atas dasar pengenalan diri. Ataukah manusia memposisikan keberadaanya untuk kesibukan duniawi hiruk-pikuk dalam doktrinisasi oleh jeratan nafsu.
Namun, kebebasan ini bukan tanpa arah. Justru, dalam pendalaman tasawuf, kebebasan sejati adalah ketika manusia menundukkan egonya untuk mengikuti kehendak Ilahi. Ini bukan bentuk pasrah buta, melainkan penemuan makna yang paling otentik dari eksistensi atas keberadaannya sendiri.
Sufi seperti Jalaluddin Rumi menulis, “Bukan tubuh yang menjadikanmu manusia, tetapi jiwamu yang mengenal Tuhannya.” Maka determinasi kemanusiaan dalam tasawuf bukan sekadar soal moral atau religiusitas lahiriah, melainkan perjalanan batiniah yang jujur dan tulus untuk kembali menjadi insan al-kamil manusia paripurna.
Di tengah krisis identitas dan kehampaan spiritual masa kini, kita perlu kembali menyelami nilai-nilai tasawuf. Bukan untuk melarikan diri dari dunia, tetapi untuk menata ulang fondasi kemanusiaan kita. Spirit perjalanan tasawuf sudah ada semenjak manusia belum terlahir dipermukaan bumi, perjalanan manusia sebelum ekspansi ke alam dunia yaitu, alam ruh, rahim, mitsaq dan zarrah. [“Ihya’ ‘Ulum al-Din” Imam al-Ghazali, “al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awa’il” ‘Abd al-Karim al-Jili]
Determinasi kemanusiaan, dalam kaca mata tasawuf, adalah panggilan jiwa agar kita menjadi manusia yang sadar atas keberadaan menuju peradaban yang hakiki, mencintai, dan bertanggung jawab, bukan hanya pada sesama, alam semesta, tetapi juga pada Sang Pencipta.
Komentar