Oleh: Muhammad Aynul Yaqin
(MAHASISWA PASCASARJANA UIN PALOPO)
OPINI : Saya tergelitik setiap kali mendengar dan melihat kabar yang berseliweran di berbagai platform media sosial, bahwa produk-produk dari Amerika Serikat ( AS ) bebas masuk ke Indonesia tanpa pajak, sementara barang-barang Indonesia justru dikenakan tarif tinggi saat masuk ke pasar AS. Mungkin bagi sebagian orang ini terdengar biasa saja. Tapi mari berhenti sejenak dan bertanya: siapa yang sebenarnya untung? Dan siapa yang menanggung kerugian?
Sebagai konsumen, saya tentu ikut senang ketika produk luar terutama dari AS menjadi lebih murah. Siapa yang tidak ingin iPhone turun harga? Atau laptop merek terkenal jadi lebih terjangkau? Pajak 0% membuat harga-harga itu jadi lebih “ramah dompet”. Tapi kegembiraan ini semestinya tak membuat kita lupa pada satu hal penting: apakah semua ini adil bagi negara kita sendiri?
Ketika kita membebaskan produk Amerika masuk tanpa hambatan, kita sedang membuka pintu lebar-lebar bagi ekonomi asing untuk mengambil peran besar di pasar domestik kita. Dan ironisnya, ketika produk kita dikirim ke AS entah itu batik Pekalongan, furniture Jepara dan hasil bumi seperti kopi Toraja, Lada/ Merica, Cengkeh, Cokelat dll. Mereka dikenai tarif masuk hingga 19%. Kita disambut dengan beban pajak, tapi mereka kita sambut dengan karpet merah.
Ini bukan sekadar angka atau kebijakan fiskal melainkan tentang harga diri ekonomi bangsa kita. Ketika pemerintah Indonesia terlalu lunak dalam negosiasi dagang, kita bukan hanya melemahkan posisi produsen lokal, tapi juga memberi pesan ke dunia: “Silakan ambil pasar kami, kami tidak akan melawan.”
Sebagian orang mungkin berkata, “Tapi konsumen kita diuntungkan.” Ya memang benar, tapi untuk berapa lama?. Jika industri dalam negeri tidak bisa bertahan karena kalah bersaing, siapa yang akan memproduksi barang kita nantinya? Kalau semua tergantung impor, apakah kita tidak takut menjadi bangsa yang hanya tahu membeli tapi tak bisa membuat?.
Lebih dari itu, harga yang dibayar konsumen Amerika atas barang Indonesia yang dikenai tarif 19% juga menjadi beban bagi masyarakat mereka sendiri. Proteksionisme policy, sebagaimana sejak dultapdiupayakan berkali- kali tapi pada akhirnya jadi bumerang. Negara melindungi produsen, tapi yang dikorbankan adalah konsumennya sendiri.
Bagi saya, ini bukan hanya soal untung-rugi dalam neraca perdagangan melainkan soal bagaimana kita menempatkan kepentingan nasional dalam peta ekonomi global. Kita bukan negara kecil yang harus terus mengalah. Indonesia punya potensi besar dalam hal sumber daya, tenaga kerja, dan pasar domestik yang luas. Kita hanya perlu satu hal: ketegasan dalam menyusun ulang peta dagang internasional.
Kita perlu berkata tegas: jika kalian mengenakan tarif untuk produk kami, maka kami pun berhak melakukan hal serupa terhadap produk kalian. Ini bukan sikap keras kepala, ini sikap setara. Dunia perdagangan internasional bukan tempat untuk bersikap manis, tapi untuk bersikap adil.
Pemerintah Indonesia saat ini dan kedepan mestinya lebih berani menyusun strategi dagang yang tidak hanya mengejar kuantitas ekspor atau popularitas di mata investor asing. Tapi strategi yang mendengarkan keluhan pengusaha lokal, yang memberi ruang bagi industri kecil untuj bertumbuh, dan yang menghormati keringat para petani, pengrajin, dan pekerja/buruh Indonesia.
Saya percaya, perdagangan internasional bisa jadi alat pembangunan. Tapi jika dibiarkan timpang seperti ini, ia hanya akan jadi alat ketimpangan. Dan bangsa yang ingin mandiri, tak seharusnya berdagang dengan mata tertutup.
Komentar