Mengurai Benang Kusut Sampah: Problem dan Solusi Penanganannya di Kota Palopo

Opini4566 Dilihat

OLEH : Murat Puka

(Pegiat Lingkungan)

OPINI : Persoalan sampah merupakan tantangan besar yang terus membayangi kehidupan masyarakat urban. Sebagai hasil dari aktivitas manusia yang tak lagi digunakan, sampah bersentuhan langsung dengan lingkungan dan memberikan dampak signifikan terhadap kualitas hidup manusia. Seiring meningkatnya populasi dan aktivitas ekonomi, volume sampah pun kian tak terbendung, menjadikannya salah satu isu lingkungan paling krusial saat ini.

Secara nasional, data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 mencatat timbulan sampah Indonesia mencapai 64 juta ton per tahun. Dari jumlah tersebut, sekitar 12 persen atau setara 7,68 juta ton merupakan sampah plastik—jenis yang dikenal paling sulit terurai dan memiliki dampak jangka panjang terhadap lingkungan. Sementara itu, Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup mencatat timbulan sampah dari 312 kabupaten/kota di Indonesia pada tahun yang sama mencapai lebih dari 33 juta ton.

Kondisi Sampah di Kota Palopo

Kota Palopo, sebagai salah satu pusat kegiatan di wilayah Luwu Raya, turut menyumbang timbulan sampah dalam jumlah signifikan. Setiap harinya, volume sampah yang dihasilkan berkisar antara 60 hingga 95 ton. Dalam setahun, tercatat sebanyak 19.137 ton sampah masuk ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Mancani, termasuk sekitar 250 ton di antaranya adalah sampah plastik.

Jenis-jenis sampah yang ditemukan secara umum terbagi menjadi tiga kategori:

  1. Sampah Organik, seperti sisa makanan, daun, dan sayuran yang mudah terurai.
  2. Sampah Non-Organik, seperti plastik, logam, kaca, dan karet yang sulit terurai.
  3. Sampah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun), seperti baterai, obat-obatan, oli, dan limbah medis.

Solusi Melalui Metode 3R

Salah satu pendekatan yang sudah dikenal luas dalam pengelolaan sampah adalah metode 3R:

  • Reduce: Mengurangi penggunaan produk yang berpotensi menjadi sampah.
  • Reuse: Menggunakan kembali barang-barang yang masih layak pakai.
  • Recycle: Mendaur ulang sampah menjadi barang berguna atau bernilai ekonomis.

Meski metode ini telah diperkenalkan dalam berbagai sosialisasi dan seminar lingkungan, sayangnya implementasinya di Kota Palopo masih belum menyentuh akar permasalahan. Banyak kegiatan yang berlangsung hanya bersifat seremonial dan tidak berlanjut pada aksi nyata berkelanjutan.

Inovasi dari Masyarakat Sipil

Beberapa organisasi lokal menunjukkan inisiatif dan komitmen nyata dalam mengatasi persoalan sampah. Dua di antaranya adalah Yayasan Bumi Sawerigading (YBS) dan Forum Belajar Mapaccing (FBM) yang melakukan berbagai inovasi berbasis masyarakat, seperti:

  1. Baruga Sampah – Tempat pengumpulan sampah plastik dari sekolah, instansi, dan industri. Inovasi ini mampu merecovery sekitar 5–9 ton sampah plastik setiap tahun.
  2. TONGKAT (Tong dan Kotak Ajaib) – Mengolah sisa makanan, buah, dan sayuran melalui proses fermentasi menjadi kompos dan pupuk organik cair. Selain itu, limbah organik ini juga digunakan sebagai media budidaya ulat maggot yang memiliki nilai ekonomis.

Inovasi-inovasi ini membuktikan bahwa pengelolaan sampah bisa dimulai dari rumah tangga dan komunitas kecil, asalkan ada dukungan, kemauan, dan keterlibatan aktif dari berbagai pihak.

Peran Pemerintah dan TPA Mancani

Sejak tahun 2014, Kota Palopo telah memiliki TPA dengan sistem sanitary landfill yang dikelola oleh Dinas Lingkungan Hidup. Beberapa program yang dijalankan meliputi:

  • Pendirian Bank Sampah,
  • Pembuatan rumah kompos,
  • Produksi paving block dari limbah plastik, dan
  • Keterlibatan masyarakat dalam pemilahan sampah.

Namun demikian, kapasitas pengelolaan TPA baru mampu merecovery sekitar 400–700 kg sampah non-organik dan 500 kg sampah organik per hari—jauh dari total timbulan sampah harian yang mencapai 95 ton. Artinya, efektivitas program masih perlu ditingkatkan dengan memperluas edukasi dan pelatihan kepada masyarakat.

Komentar