Oleh: Fathur Rahman
OPINI – Setiap tanggal 1 Mei, dunia memperingati Hari Buruh Internasional. Namun, bagi sebagian besar buruh di Indonesia, hari ini bukan sekadar seremoni atau barisan spanduk. Ini adalah panggung jeritan yang tak kunjung didengar. Di tengah gegap gempita pembangunan dan gemerlap globalisasi, nasib buruh justru semakin terpinggirkan.
Realita di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar buruh masih menerima upah di bawah standar Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Padahal, biaya hidup terus melambung. Kesenjangan antara pendapatan dan kebutuhan makin menganga. Di sisi lain, tekanan kerja terus meningkat. Buruh dituntut profesional, harus cepat beradaptasi, dan menguasai berbagai keterampilan, namun kesejahteraan yang diterima tidak sebanding dengan kontribusi mereka.
Bandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam. Upah buruh di sana tidak hanya lebih tinggi, tetapi juga lebih proporsional terhadap kebutuhan hidup. Indonesia, yang notabene negara dengan kekayaan sumber daya alam melimpah, justru tertinggal dalam memberikan jaminan hidup layak bagi buruhnya.
Lebih memilukan lagi, banyak buruh kehilangan pekerjaan akibat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak. Dalam kondisi ekonomi yang rapuh, PHK menjadi momok menakutkan yang menghantui setiap lini industri. Pemerintah seolah hanya menjadi penonton, minim intervensi untuk melindungi tenaga kerja yang seharusnya menjadi aset bangsa.
Kita sedang menyaksikan ironi besar: negeri yang kaya raya, namun buruhnya menderita. Kekayaan negara tidak menjelma menjadi kesejahteraan bersama. Sila kelima Pancasila—Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia—kian kehilangan makna.
Hari Buruh seharusnya menjadi pengingat bahwa kesejahteraan buruh adalah fondasi utama bagi pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan. Negara tidak boleh abai. Pemerintah harus hadir, bukan hanya sebagai regulator, tapi sebagai pelindung yang memperjuangkan hak-hak buruh secara nyata.
Sudah saatnya kita berhenti menjadi tamu di tanah sendiri. Buruh bukan alat produksi, mereka adalah pahlawan ekonomi. Dan pahlawan tak selayaknya hidup dalam penderitaan.
Komentar