Penulis : Muhamad Hamzah, S.Pd.,M.Pd (Dosen Program Studi Manajemen Pendidikan Islam, Fakultas Agama Islam, Universitas Pamulang)
Opini : Digital distraction di era gawai telah menjadi ujian nyata bagi efektivitas strategi manajemen kelas konvensional. Pendekatan lama yang berfokus pada larangan, penyitaan, dan kontrol ketat semakin terasa ketinggalan zaman, karena tidak sejalan dengan realitas kehidupan siswa yang terjalin erat dengan teknologi. Larangan total menciptakan lingkungan pembelajaran yang artifisial dan justru gagal membekali siswa dengan keterampilan kritis abad 21, seperti kemampuan mengelola perhatian, regulasi diri digital, dan fokus selektif dalam dunia yang penuh distraksi. Masalah utamanya bukan lagi pada gawai sebagai objek, melainkan pada desain pengalaman belajar yang seringkali kalah menarik dan relevan dibandingkan stimulasi yang ditawarkan oleh dunia digital.
Namun, transisi ini bukan tanpa tantangan. Banyak pendidik terjebak dalam dikotomi yang salah: sepenuhnya melarang atau sepenuhnya membebaskan. Padahal, jalan tengah yang konstruktif justru terletak pada pendidikan kesadaran digital. Siswa perlu diajak memahami secara kritis bagaimana teknologi didesain untuk memikat perhatian dari notifikasi yang disengaja hingga algoritma umpan yang tak pernah habis. Dengan kesadaran ini, mereka bukan sekadar pengguna pasif, tetapi dapat menjadi regulator aktif bagi kebiasaan digital mereka sendiri. Peran guru pun bergeser dari penjaga disiplin menjadi fasilitator yang membimbing siswa menavigasi arus informasi tanpa tenggelam di dalamnya.
Oleh karena itu, diperlukan pergeseran paradigma mendasar dari strategi defensif menuju pendekatan integratif dan proaktif. Solusinya terletak pada mengubah gawai dari musuh menjadi mitra pembelajaran melalui desain aktivitas yang melibatkannya secara kreatif dan produktif. Manajemen kelas modern harus fokus pada menciptakan keterlibatan (engagement) yang tinggi, membangun kontrak digital kolaboratif dengan siswa, serta secara eksplisit mengajarkan literasi perhatian dan digital wellbeing. Dengan kata lain, tujuan utamanya bukan menghilangkan distraksi, tetapi membangun ketahanan perhatian dan motivasi intrinsik siswa.
Dapat disimpulkan bahwa banyak strategi manajemen kelas tradisional memang sudah tidak memadai, karena berusaha mengontrol gejala tanpa menyentuh akar masalah: yaitu kurangnya keterlibatan dan relevansi dalam pembelajaran. Masa depan manajemen kelas yang efektif di era digital bukan terletak pada pertarungan melawan teknologi, melainkan pada kemampuan pendidik untuk merancang pengalaman belajar yang lebih autentik, interaktif, dan bermakna sehingga mampu bersaing dengan distraksi digital.
Revolusi yang dibutuhkan adalah perubahan dari filosofi kontrol eksternal menuju pemberdayaan internal siswa dalam mengelola perhatian dan teknologi mereka sendiri. Pada akhirnya, kelas yang sukses di abad ke-21 adalah kelas yang tidak lagi memandang gawai sebagai pengganggu yang harus dikunci, tetapi sebagai cermin yang menunjukkan di mana pembelajaran kita perlu menjadi lebih hidup, manusiawi, dan berpijak pada realitas zamannya.








Komentar