Politik Kampus dan Sunyi Demokrasi Mahasiswa

Opini472 Dilihat

Oleh: Suci Ramadhani (Mahasiswa Ilmu Politik, Universitas jambi)

Opini – Kampus kerap disebut sebagai ruang intelektual dan laboratorium demokrasi, tempat mahasiswa seharusnya belajar berpikir kritis, berdialog, dan mengelola perbedaan secara dewasa. Namun dalam praktiknya, politik kampus sering kali berjalan secara formalistik dan kehilangan makna substantif. Proses demokrasi tetap berlangsung, tetapi ruh intelektual yang seharusnya menyertainya justru kerap absen.

Sebagai mahasiswa Ilmu Politik, Suci Ramadhani melihat fenomena ini sebagai sebuah paradoks. Di satu sisi, partisipasi mahasiswa dalam berbagai agenda politik kampus terlihat cukup tinggi. Pemilihan ketua organisasi, musyawarah mahasiswa, dan forum-forum representatif tetap digelar secara rutin. Namun di sisi lain, keterlibatan tersebut sering kali tidak diiringi dengan kesadaran politik yang mendalam. Demokrasi hadir secara prosedural, tetapi sunyi secara reflektif dan kritis.

Dalam realitas politik kampus hari ini, gagasan sering kalah oleh popularitas. Diskusi terbuka tergeser oleh konsolidasi tertutup. Kritik, alih-alih dipahami sebagai kontribusi, justru kerap dipersepsikan sebagai ancaman. Kondisi ini perlahan membentuk iklim politik yang tidak sehat, di mana mahasiswa yang memiliki keberanian berpikir kritis memilih untuk diam demi menghindari konflik sosial. Politik kampus pun bergerak tanpa dialog yang bermakna.

Padahal, kampus seharusnya menjadi ruang paling aman untuk berbeda pendapat. Jika di ruang akademik saja perbedaan pandangan tidak mendapat tempat yang layak, maka sulit berharap mahasiswa siap menghadapi realitas politik di luar kampus yang jauh lebih kompleks dan penuh tekanan. Demokrasi tanpa kritik tidak akan melahirkan kedewasaan politik, melainkan sekadar kepatuhan pada prosedur.

Bagi Suci Ramadhani, politik kampus semestinya tidak dipahami sebatas perebutan jabatan atau kemenangan dalam kontestasi organisasi. Politik kampus adalah proses pembelajaran, tempat mahasiswa dilatih untuk merumuskan kepentingan bersama, menguji gagasan secara rasional, serta bertanggung jawab atas setiap pilihan politiknya. Tanpa itu, politik kampus hanya akan menjadi rutinitas tahunan yang kehilangan arah.

Karena itu, sudah saatnya politik kampus dikembalikan pada nilai intelektualnya. Bukan politik yang gaduh, melainkan politik yang bernalar. Bukan politik yang digerakkan oleh kepentingan sempit, tetapi politik yang tumbuh dari kesadaran kolektif. Kampus tidak membutuhkan mahasiswa yang sekadar pandai memenangkan kontestasi, melainkan mahasiswa yang mampu berpikir jernih, menghargai perbedaan, dan menjaga integritas dalam setiap proses demokrasi.

Jika politik kampus mampu dijalankan sebagai ruang pendidikan demokrasi yang sejati, maka mahasiswa tidak hanya belajar tentang kekuasaan, tetapi juga belajar menjadi warga yang kritis, sadar, dan bertanggung jawab.

Komentar