Prof. Dr. Muhaemin, S.Pd.I., M.A.
(Guru Besar Bidang Ilmu Pendidikan Islam)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI PALOPO 2025
Pendahuluan: Realitas Pendidikan Agama Islam di Era Digital
Mencetak anak bangsa yang bertaqwa bertakwa, berakhlak mulia, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab adalah tujuan pendidikan Nasional. Pemerintah telah melaksanakan sejumlah kebijakan untuk tercapainya tujuan tersebut. Meskipun demikian, capaian pendidikan nasional masih perlu terus dikembangkan untuk merespons perubahan yang sangat cepat. Pasca pandemi covid-19, tantangan dunia pendidikan khususnya pembinaan karakter semakin nyata karena peserta didik mengalami distraksi akibat penggunaan internet yang tidak terkontrol bila berada di luar sekolah sehingga perhatian peserta didik teralihkan pada aspek di luar mata pelajaran. Hal ini diperkuat dengan hasil temuan Lembaga riset alvara menunjukkan Kebanyakan internet digunakan untuk browsing, media sosial dan game online. Hanya sedikit menggunakan internet untuk keperluan belajar dan bekerja.1
Pada sisi yang lain, model pembelajaran yang ada termasuk pembelajaran agama belum sepenuhnya mampu melekatkan muatan pendidikan agama sampai pada tahap pengamalan. Salahseorang pengamat pendidikan pernah menulis bahwa mata pelajaran agama dan pelajaran humaniora lainnya tergelincir dalam penekanan yang kuat hanya pada ranah kognitif, yang dipentingkan hanya hafalan bukan kelekatan pada ajaran-ajaran dan pengamalan pada kehidupan sehari-hari. Pengajaran agama jadi lebih formalistis dan simbolis dari yang lain.2
Menteri Agama, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, dalam berbagai forum mengatakan bahwa seharusnya antara ajaran agama dan pemeluk agama seharusnya tidak berjarak. Namun fakta di lapangan menunjukkan, pemeluk agama tidak mengamalkan nilai-nilai luhur ajaran agama secara totalitas. Hal inilah yang mendorongnya untuk mengajukan kurikulum cinta sebagai Solusi untuk mengatasi kesenjangan antara ajaran agama dan perilaku pemeluk agama yang belum selaras.
Berbagai fenomena yang terjadi perlu disikapi secara bijak oleh para pemangku kebijakan kebijakan termasuk para guru. Tranformasi yang terjadi pada berbagai lini kehidupan mengharuskan pendidik juga melakukan transformasi pembelajaran yang adaptif, integrative dan relevan agar mampu menjawab tantangan perubahan sekaligus mendesain pembelajaran yang berkualitas.
Perkembangan Ilmu Pendidikan Islam dan Transformasi Pembelajaran
Ilmu pendidikan Islam bukan sekadar cabang ilmu biasa, melainkan bagian penting dari warisan intelektual dan spiritual umat Islam yang berakar kuat pada sejarah dan filsafat Islam itu sendiri. Dalam pandangan Islam, pendidikan tidak hanya dimaknai sebagai upaya mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa, tetapi lebih dari itu pendidikan adalah proses membentuk kepribadian manusia berdasarkan nilai-nilai tauhid. Sepanjang sejarahnya, pendidikan Islam telah menjadi fondasi dalam membangun peradaban, mencetak generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara spiritual dan akhlak.
1. Perkembangan Ilmu Pendidikan Islam pada Masa Klasik (Abad ke-7 hingga ke-12 M)
Masa klasik dalam perkembangan ilmu pendidikan Islam mencakup kurun waktu sejak era kenabian hingga kejayaan Dinasti Abbasiyah. Periode ini ditandai dengan pondasi awal pendidikan yang diletakkan langsung oleh Rasulullah saw. Beliau menjadikan pendidikan sebagai bagian esensial dari ajaran Islam, tidak hanya sebagai sarana memperoleh ilmu, tetapi juga sebagai bentuk pengabdian dan manifestasi keimanan. Pendidikan pada masa ini berlangsung secara informal di berbagai tempat seperti rumah-rumah para sahabat, masjid, dan halaqah (lingkaran ilmu). Masjid Nabawi menjadi pusat kegiatan belajar-mengajar yang menyatukan unsur spiritual, moral, dan intelektual, di mana Rasulullah saw. secara langsung membina umatnya dalam memahami wahyu, membentuk akhlak, dan menerapkan prinsip hidup Islami dalam kehidupan sehari-hari.3
Seiring berkembangnya umat Islam, terutama pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, pendidikan mengalami transformasi penting menuju bentuk yang lebih terstruktur dan sistematis. Lahirnya madrasah sebagai institusi pendidikan formal menjadi tonggak baru dalam sistem pendidikan Islam. Kurikulum di madrasah tidak hanya memuat kajian keislaman seperti ilmu tafsir, hadis, fikih, dan kalam, tetapi juga meliputi ilmu pengetahuan umum seperti matematika, kedokteran, astronomi, dan filsafat. Hal ini menunjukkan bahwa sejak awal, tradisi keilmuan Islam sangat menghargai integrasi antara ilmu agama dan ilmu dunia, mencerminkan pandangan Islam yang holistik terhadap ilmu pengetahuan. Pendekatan terbuka dan inklusif inilah yang menjadi kekuatan utama pendidikan Islam di masa klasik, menjadikannya pusat peradaban dunia yang menghasilkan ilmuwan dan pemikir besar lintas bidang keilmuan.
2. Masa Pertengahan: Stagnasi dan Fragmentasi (Abad ke-13 hingga ke-18 M)
Pada masa pertengahan, perkembangan ilmu pendidikan Islam menghadapi tantangan besar yang menghambat kemajuan seperti sebelumnya. Sejak abad ke-13, dunia Islam mulai terguncang oleh serangan Mongol yang meruntuhkan Baghdad pusat peradaban Islam saat itu. Selain itu, konflik internal yang berkepanjangan di antara kerajaan-kerajaan Islam membuat situasi semakin tidak kondusif bagi tumbuhnya iklim keilmuan yang sehat. Pendidikan pun ikut terdampak. Banyak lembaga pendidikan Islam, seperti madrasah, mulai kehilangan semangat inovasi dan menjadi lebih tertutup. Pembelajaran di masa ini lebih berfokus pada hafalan dan pengulangan teks-teks keagamaan, tanpa banyak ruang untuk berdiskusi, berpikir kritis, atau mengembangkan pemahaman yang kontekstual. Akibatnya, proses pendidikan menjadi kakudan dogmatis.4
Meski demikian, tidak semua wilayah Islam larut dalam stagnasi. Beberapa pemimpin dan tokoh tetap berupaya membawa angin segar bagi dunia pendidikan. Salah satunya adalah Sultan Mahmud II dari Kekhalifahan Utsmani. Ia mencoba memperbarui sistem pendidikan dengan memasukkan ilmu-ilmu modern seperti sains dan teknologi ke dalam kurikulum madrasah, sebagai bentuk adaptasi terhadap perkembangan zaman.5 Upaya seperti ini menunjukkan adanya kesadaran bahwa pendidikan Islam tidak bisa selamanya terpaku pada masa lalu, tetapi perlu bergerak maju tanpa kehilangan ruh keagamaannya. Masa pertengahan ini menjadi cerminan pergulatan antara mempertahankan tradisi dan menjawab tuntutan zaman antara menjaga identitas Islam dan kebutuhan untuk bertransformasi.
3. Masa Modern: Dinamika Reformasi dan Integrasi Keilmuan (Abad ke-19 hingga masa
kini)
Memasuki abad ke-19, dunia pendidikan Islam memasuki babak baru yang penuh tantangan sekaligus peluang. Globalisasi, kolonialisme, dan berkembangnya dominasi ilmu pengetahuan Barat membawa dampak besar terhadap cara pandang umat Islam terhadap pendidikan. Sistem pendidikan tradisional yang selama ini berakar pada madrasah dan pesantren mulai dihadapkan pada kebutuhan untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman. Meskipun tekanan terhadap pendidikan Islam cukup kuat, gelombang reformasi mulai muncul di berbagai belahan dunia Islam, termasuk di Indonesia. Di Indonesia, momentum reformasi pendidikan Islam menguat setelah kemerdekaan
pada tahun 1945. Pemerintah mulai memberi tempat resmi bagi pendidikan keagamaan melalui pembentukan Kementerian Agama. Langkah ini menjadi fondasi penting bagi integrasi pendidikan Islam ke dalam sistem pendidikan nasional. Madrasah, pesantren, dan lembaga pendidikan tinggi Islam mulai bertransformasi dengan mengadopsi kurikulum yang menggabungkan antara ilmu-ilmu keislaman dan ilmu umum. Pendekatan ini bertujuan agar peserta didik tidak hanya religius, tetapi juga mampu bersaing di ranah akademik dan profesional.6
Lembaga pendidikan tinggi seperti IAIN (Institut Agama Islam Negeri) dan UIN (Universitas Islam Negeri) memainkan peran penting dalam mendorong pembaruan ini. Mereka tidak hanya menjadi tempat kajian keislaman yang mendalam, tetapi juga menjadi pusat pengembangan metodologi ilmiah yang lebih modern, profesionalisme tenaga pendidik, dan pemanfaatan teknologi digital dalam proses pembelajaran.7 Reformasi kurikulum menjadi langkah utama, diikuti oleh program pelatihan bagi guru, peningkatan kualitas sumber daya manusia, serta digitalisasi materi ajar yang menyesuaikan dengan kebutuhan abad ke-21.
Pada akhirnya, pendidikan Islam di era modern bergerak menuju sistem yang lebih inklusif, adaptif, dan terintegrasi. Ia tidak lagi dipandang sebagai pendidikan yang semata-mata religius, tetapi juga sebagai sistem yang mampu melahirkan generasi yang kritis, inovatif, dan memiliki semangat keilmuan yang universal tanpa kehilangan jati dirinya sebagai Muslim. Perjalanan reformasi ini masih terus berlangsung hingga hari ini, seiring dengan perkembangan teknologi, perubahan sosial, dan tantangan global yang terus berubah.
Ilmu pendidikan Islam merupakan bidang keilmuan yang terus tumbuh dan menyesuaikan diri dengan dinamika zaman, namun tetap berakar kuat pada nilai-nilai wahyu sebagai landasan utamanya. Dari era klasik hingga memasuki zaman modern, pendidikan Islam telah membuktikan kemampuannya untuk beradaptasi dengan berbagai perubahan sosial dan intelektual. Karakteristik utamanya adalah keterbukaan untuk mengintegrasikan ilmu agama dan pengetahuan umum secara seimbang.
Di tengah derasnya arus globalisasi dan tantangan sekularisme masa kini, justru muncul peluang untuk memperkuat kembali sistem pendidikan Islam. Tantangan-tantangan tersebut mendorong pendidikan Islam agar tidak hanya mempertahankan identitasnya, tetapi juga tampil sebagai sistem pendidikan yang berbasis nilai, berwawasan keilmuan, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat modern.
Tantangan Guru PAI di Era digital
Era digital telah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam bidang pendidikan. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu pesat telah mengubah cara manusia berinteraksi, melakukan proses pembelajaran, serta memperoleh informasi.8 Di tengah derasnya arus transformasi digital, pendidikan agama Islam (PAI) di sekolah menghadapi tantangan dan peluang baru yang semakin kompleks.9 Guru pendidikan agama Islam (PAI) kini tidak bisa lagi hanya mengandalkan metode mengajar yang konvensional. Guru dituntut untuk mampu menyelaraskan ajaran dan nilai-nilai Islam dengan kemajuan teknologi yang terus berkembang. Kondisi ini menuntut guru agar lebih adaptif dan kreatif, sehingga pembelajaran pendidikan agama Islam (PAI) tetap bisa menjawab kebutuhan zaman dan relevan bagi siswa di era digital seperti sekarang.
Musbaing menyatakan bahwa pendidikan di abad ke-21 sangat dipengaruhi oleh hadirnya Revolusi Industri 4.0, yang membawa perubahan besar terhadap peran dan kompetensi guru, termasuk guru pendidikan agama Islam (PAI).10 Dalam konteks ini, guru tidak hanya dituntut untuk menguasai materi ajar, tetapi juga mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi. Hal ini sejalan dengan pendapat Azriana Boangmanalu yang menekankan bahwa guru masa kini harus berperan sebagai fasilitator pembelajaran mampu memanfaatkan teknologi secara efektif demi menciptakan proses belajar yang lebih berkualitas dan relevan dengan kebutuhan zaman.11 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa guru pendidikan agama Islam (PAI) perlu terus mengembangkan diri agar mampu memadukan nilai nilai keislaman dengan teknologi, sehingga pembelajaran tetap menarik, relevan, dan sesuai dengan kebutuhan siswa di era digital.
Adapun tantangan guru pendidikan agama Islam (PAI) dalam era digital yaitu, sebagai berikut:
1. Keterbatasan Literasi Digital
Salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh guru pendidikan agama Islam (PAI) adalah rendahnya tingkat literasi digital, khususnya di daerah-daerah terpencil. Banyak guru yang belum terbiasa atau kesulitan menggunakan teknologi dalam pembelajaran, terutama karena keterbatasan pelatihan dan kurangnya dukungan infrastruktur yang memadai di sekolah.12 Akibatnya, guru seringkali merasa kesulitan untuk memanfaatkan perangkat digital secara efektif, padahal teknologi seharusnya bisa menjadi alat yang sangat berguna dalam meningkatkan kualitas pengajaran.
2. Resistensi terhadap Perubahan Metode Pengajaran
Banyak guru pendidikan agama Islam (PAI) yang cenderung bertahan dengan metode pengajaran tradisional karena merasa lebih nyaman dengan cara tersebut. Menurut Musbaing, ketahanan terhadap perubahan ini seringkali disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang manfaat teknologi dan rasa tidak percaya diri dalam menggunakan media digital.13 Azriana juga menemukan bahwa sebagian guru merasa tidak siap menghadapi perubahan, baik karena keterbatasan keterampilan teknologi maupun karena budaya kerja yang cenderung konservatif di sekolah sekolah.14 Kesimpulannya, ketahanan guru pendidikan agama Islam (PAI) terhadap perubahan disebabkan oleh kurangnya pemahaman dan keterampilan dalam menggunakan teknologi. Oleh karena itu, pelatihan yang lebih baik dan dukungan dari sekolah sangat dibutuhkan agar guru dapat beradaptasi dengan perubahan yang ada.
3. Keterbatasan Akses terhadap Sumber Daya Digital Khusus PAI
Guru pendidikan agama Islam (PAI) sering kali kesulitan menemukan materi ajar digital yang benar-benar sesuai dengan pembelajaran agama. Keterbatasan sumber daya teknologi yang mengakomodasi nilai-nilai Islam menjadi salah satu tantangan besar. Di samping itu, kurikulum pendidikan agama Islam (PAI) yang ada belum sepenuhnya mendukung pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran.15 Akibatnya, para guru merasa kesulitan untuk mencari dan menggunakan media pembelajaran interaktif yang tidak hanya menarik, tetapi juga mampu menyampaikan nilai-nilai agama dengan cara yang tepat dan efektif. Tanpa adanya dukungan yang kuat terhadap integrasi teknologi dalam kurikulum,penggunaan teknologi dalam kelas pendidikan agama Islam (PAI) menjadi terbatas dan tidak
dapat secara maksimal meningkatkan kualitas pembelajaran agama bagi siswa.
4. Infrastruktur Teknologi yang Tidak Memadai
Banyak sekolah, terutama di daerah pinggiran, masih menghadapi kondisi fisik sarana teknologi yang kurang memadai. Akses internet yang terbatas menghambat siswa dan guru dalam mengakses materi pembelajaran digital atau platform pembelajaran daring yang dapat memperkaya pengalaman belajar. 16 Ketersediaan perangkat digital yang minim, seperti komputer atau tablet, membuat sebagian besar siswa kesulitan untuk mengikuti kegiatan pembelajaran berbasis teknologi. Selain itu, kurangnya dukungan teknis, baik dalam hal pemeliharaan perangkat atau pelatihan bagi guru dan staf, memperburuk situasi ini. Hal ini menyebabkan kesenjangan dalam kualitas pendidikan antara sekolah di daerah perkotaan yang memiliki sarana dan prasarana teknologi yang lebih lengkap dengan sekolah di daerah pinggiran yang kesulitan mengadopsi teknologi dalam pembelajaran.
Dari hal diatas dapat disimpulkan bahwa tantangan yang dihadapi pendidikan agama Islam (PAI) di era digital merupakan cerminan dari kesenjangan kesiapan antara kebutuhan zaman dan kondisi nyata di lapangan. Masih banyak guru yang belum siap secara keterampilan maupun fasilitas untuk mengintegrasikan teknologi dalam pembelajaran agama. Padahal, teknologi bisa menjadi sarana yang sangat potensial untuk menyampaikan nilai-nilai Islam dengan cara yang lebih menarik dan relevan bagi generasi digital saat ini. Maka dari itu, perlu ada upaya serius dan berkelanjutan dari semua pihak untuk memberdayakan guru PAI melalui pelatihan, pembaruan kurikulum, dan penyediaan infrastruktur yang memadai agar pembelajaran agama tidak tertinggal di tengah arus perkembangan teknologi.
Prospek Guru PAI di Era AI
Di tengah laju perkembangan teknologi yang semakin pesat, khususnya dengan hadirnya kecerdasan buatan (AI), peran guru pendidikan agama Islam (PAI) justru menjadi semakin penting dan strategis. Kehadiran AI bisa dimanfaatkan sebagai alat bantu dalam pembelajaran, seperti menciptakan materi yang lebih menarik dan interaktif, membantu guru mengevaluasi hasil belajar siswa secara lebih akurat, hingga mempermudah akses siswa terhadap berbagai sumber pengetahuan keislaman.17
Adapun beberapa prospek guru pendidikan agama Islam (PAI) di era AI yaitu, sebagai berikut:
1. Mencari ide dan merencanakan pembelajaran
Guru Pendidikan Agama Islam (PAI) kini punya peluang besar untuk memanfaatkan kecerdasan buatan (AI) sebagai pendamping dalam kegiatan mengajar. AI bisa berperan sebagai asisten virtual yang membantu guru menciptakan pengalaman belajar yang lebih menarik dan menyenangkan.18 AI generatif mampu merespons berbagai masukan yang diberikan, baik berupa teks, pertanyaan, maupun perintah lainnya. Bagi guru, khususnya dalam bidang Pendidikan Agama Islam, teknologi ini bisa sangat membantu.19 Misalnya, saat guru membutuhkan analisis cepat, kutipan yang relevan, atau ingin membuat teks dan gambar pendukung materi, AI generatif dapat menyediakannya dalam waktu singkat. Lebih dari itu, AI juga bisa menjadi sumber inspirasi dalam merancang pembelajaran memberikan saran model dan metode yang sesuai dengan topik yang sedang diajarkan. Bahkan, materi yang dirasa rumit pun bisa disederhanakan menjadi ringkasan yang lebih mudah dipahami siswa. Dengan begitu, AI bukan hanya mendukung guru, tapi juga ikut menciptakan proses belajar yang lebih efektif dan efisien.
Guru juga bisa memanfaatkan kecanggihan AI untuk membantu dalam merancang kurikulum pembelajaran yang lebih tepat sasaran.20 AI dapat digunakan oleh guru untuk menganalisis kebutuhan siswa secara lebih mendalam, sehingga kurikulum yang disusun benar-benar sesuai dengan kemampuan dan perkembangan siswa. Berbagai alat AI generatif seperti ChatGPT, Google Bard, Scite.ai, Perplexity, dan lainnya bisa menjadi bantuan praktis
bagi guru dalam menyelesaikan tugas.
Guru Pendidikan Agama Islam tidak hanya bertanggung jawab dalam proses pembelajaran di kelas, tetapi juga harus menyelesaikan berbagai pekerjaan administratif yang kerap menyita banyak waktu dan tenaga. Dalam konteks ini, kehadiran kecerdasan buatan (AI) menjadi solusi yang dapat membantu mengurangi beban kerja tersebut. Melalui AI, guru dapat terbantu dalam merancang rencana pembelajaran, menyusun modul dan materi ajar, mengelola data siswa, membuat laporan, merancang sistem penilaian, serta menyelesaikan berbagai tugas administratif lainnya dengan lebih efisien.21 Dengan dukungan AI, pekerjaan administratif bisa diselesaikan dengan lebih cepat dan efisien, sehingga guru punya lebih banyak waktu untuk fokus pada pembinaan karakter dan penguatan nilai-nilai keislaman dalam diri siswa.
Guru juga memiliki peluang besar untuk menyusun media pembelajaran yang menarik dan interaktif dengan memanfaatkan berbagai platform digital yang terintegrasi dengan teknologi kecerdasan buatan. Kombinasi antara aplikasi pembuat media pembelajaran dan aplikasi desain grafis berbasis AI seperti Canva AI, Quizizz, Wordwall, Eduplay, dan sejenisnya, dapat membantu guru menciptakan materi ajar yang tidak hanya informatif, tetapi juga menyenangkan bagi siswa.22 Dengan bantuan alat-alat tersebut, guru bisa lebih kreatif dalam menyajikan konten keislaman, misalnya melalui kuis interaktif, infografis menarik, hingga animasi sederhana yang memperkuat pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan.
2. AI sebagai media pembelajaran
Teknologi AI generatif dapat dimanfaatkan oleh guru untuk merancang media pembelajaran yang lebih interaktif dan relevan dengan perkembangan serta kebutuhan peserta didik. Dengan bantuan AI, pengalaman belajar siswa menjadi lebih personal, bermakna, dan menyenangkan. Salah satu contohnya adalah ChatGPT, yang mampu membantu menyusun berbagai bentuk pembelajaran yang disesuaikan secara individual.23 AI generatif juga mendukung proses belajar mandiri yang dipersonalisasi sesuai kebutuhan tiap siswa. Dalam konteks pembelajaran Pendidikan Agama Islam, teknologi ini dapat mempermudah siswa memahami materi, mengajukan pertanyaan, menerima umpan balik secara langsung, memperoleh penjelasan yang lebih dalam, berdiskusi secara digital, menerjemahkan teks dari bahasa asing ke Bahasa Indonesia, hingga melatih keterampilan berpikir kritis mereka secara aktif dan kontekstual.24
3. Evaluasi dan penilaian otomatis
Kecerdasan buatan (AI) kini banyak dimanfaatkan dalam proses asesmen dan evaluasi otomatis melalui berbagai platform daring. Teknologi ini memudahkan guru dalam menyusun soal dengan cara yang lebih efisien dan praktis. Selain itu, sistem berbasis AI juga memiliki kemampuan untuk memeriksa jawaban siswa secara otomatis, sekaligus memberikan penilaian secara instan.25 Hal ini tidak hanya menghemat waktu guru dalam melakukan koreksi, tetapi juga membantu memastikan proses penilaian berjalan lebih objektif dan konsisten. Dengan adanya fitur analisis hasil, guru juga dapat memantau perkembangan belajar siswa secara lebih menyeluruh dan berbasis data, sehingga intervensi pembelajaran dapat diberikan secara tepat sasaran.
4. Peningkatan kompetensi guru PAI
Perkembangan era digital menuntut guru pendidikan agama Islam (PAI) untuk meningkatkan literasi digital dan keterampilan teknologi atau bisa dikatakan sebagai kompetensi guru. Melalui berbagai pelatihan dan upaya pengembangan keterampilan digital, guru dapat memanfaatkan teknologi secara maksimal dalam proses pembelajaran. Dengan demikian, pembelajaran tidak hanya menjadi lebih interaktif, tetapi juga lebih relevan dan sesuai dengan tuntutan zaman yang terus berkembang.26 Integrasi teknologi memungkinkan guru untuk menciptakan pengalaman belajar yang lebih menarik dan mudah diakses, serta memfasilitasi siswa dalam menggali pengetahuan agama dengan cara yang lebih dinamis dan efisien. Selain itu, penggunaan teknologi juga membuka peluang bagi guru untuk terus belajar dan beradaptasi dengan inovasi yang ada, menjadikan mereka lebih siap dalam menghadapi tantangan pendidikan di masa depan.
Dengan memanfaatkan teknologi AI secara cerdas dan bijaksana, guru pendidikan agama Islam (PAI) dapat semakin memperkuat peran mereka dalam membimbing siswa, tidak hanya dari sisi pengetahuan kognitif, tetapi juga dalam proses pembentukan karakter dan spiritualitas. AI dapat membantu guru menyajikan materi yang lebih interaktif dan relevandengan kehidupan sehari-hari siswa, serta memberikan mereka ruang untuk belajar secara lebih mandiri. Namun, meskipun teknologi ini memberi banyak keuntungan, AI tetap hanya sebuah
alat. Nilai-nilai keagamaan, pembentukan karakter, serta penanaman etika tetap membutuhkan
sentuhan manusia, dalam hal ini peran guru sebagai pembimbing. Karena itu, guru PAI perlu terus meningkatkan kemampuan digitalnya, tanpa melupakan tugas utamanya dalam membentuk generasi yang berakhlak mulia dan memahami ajaran agama secara mendalam. Dalam konteks ini, pendidikan PAI menjadi lebih adaptif, mengikuti perkembangan zaman, dan memberikan pengalaman yang lebih mendalam serta bermakna bagi siswa di era digital
ini.
Guru PAI dan Tantangan Asta Cita Presiden Prabowo dan Program Prioritas Menteri
Agama Nasaruddin Umar
Asta Cita merupakan delapan misi utama yang menjadi fondasi visi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045. Meskipun memiliki tujuan yang ambisius, implementasi Asta Cita menghadapi berbagai tantangan yang kompleks.
Menteri Agama Nasaruddin Umar telah meluncurkan delapan program prioritas Kementerian Agama untuk periode 2025–2029 yang dikenal dengan nama Asta Protas Kemenag Berdampak. Program ini dirancang untuk mendukung pencapaian Asta Cita yang ditetapkan oleh Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming.
Dalam konteks mewujudkan visi Indonesia Emas 2045, peran Guru Pendidikan Agama Islam (PAI) menjadi sangat strategis. Guru PAI tidak hanya bertanggung jawab dalam mengajarkan materi agama, tetapi juga dalam membentuk karakter dan nilai-nilai luhur pada generasi muda. Hal ini sejalan dengan komitmen Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka melalui Asta Cita, serta implementasi program prioritas Kementerian Agama (Kemenag) yang dikenal dengan Asta Protas Kemenag Berdampak.
1. Kontribusi Strategis Guru PAI dalam Mewujudkan Asta Cita
Dalam kerangka mewujudkan Asta Cita, salah satu visi besar pemerintahan yang menekankan pada penguatan sumber daya manusia (SDM) unggul, peran Guru Pendidikan Agama Islam (PAI) menjadi sangat krusial. Peningkatan kualitas SDM tidak hanya berfokus pada aspek intelektual dan keterampilan kerja, tetapi juga mencakup pembinaan karakter, spiritualitas, dan moralitas bangsa. Di sinilah guru PAI hadir sebagai garda terdepan dalam membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga berakhlak mulia, menjunjung tinggi nilai toleransi, dan memiliki semangat nasionalisme yang kuat.
Melalui pendekatan pembelajaran yang menyentuh hati, guru PAI menanamkan nilai nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin Islam yang damai, moderat, dan inklusif. Pendidikan agama yang mereka berikan bukan sekadar transmisi pengetahuan, tetapi juga transformasi kepribadian siswa agar mampu hidup berdampingan dalam masyarakat yang majemuk serta tangguh menghadapi tantangan zaman.27 Dengan cara ini, guru PAI turut serta mencetak generasi muda yang tidak hanya siap bersaing di kancah global, tetapi juga tetap kokoh memegang nilai-nilai luhur keislaman dan kebangsaan.
2. Tantangan Nyata yang Dihadapi Guru PAI di Lapangan
Walaupun guru Pendidikan Agama Islam (PAI) memiliki peran strategis dalam membentuk karakter generasi muda dan mewujudkan cita-cita bangsa, kenyataannya mereka masih menghadapi berbagai hambatan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari. Tantangan tantangan ini bukan sekadar bersifat teknis, tetapi juga menyentuh aspek psikologis dan sosial yang berdampak langsung pada semangat mengajar.
Salah satu kendala utama adalah minimnya pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Banyak guru PAI belum mendapatkan pembinaan yang menyentuh pada isu-isu kontemporer seperti moderasi beragama, integrasi teknologi dalam pembelajaran, atau pendekatan pedagogis yang relevan dengan karakteristik generasi digital saat ini. Sebagai contoh, seorang guru PAI di sekolah menengah mungkin kesulitan mengajarkan materi toleransi beragama tanpa alat bantu atau metode interaktif, padahal isu ini sangat penting dalam konteks kebangsaan.
Selain itu, akses terhadap sumber belajar berkualitas juga masih menjadi persoalan. Di beberapa sekolah, terutama di wilayah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal), guru PAI harus mengandalkan buku paket lama yang kurang kontekstual atau bahkan membuat bahan ajar sendiri tanpa pendampingan profesional. Hal ini tentu menguras energi dan waktu, terlebih ketika harus disandingkan dengan beban administratif yang menumpuk mulai dari pelaporan kegiatan, penyusunan perangkat pembelajaran, hingga pelaksanaan penilaian yang kompleks.28
Kesenjangan kesejahteraan dan pengakuan profesional juga menjadi masalah yang belum terselesaikan. Di banyak daerah, guru PAI honorer masih menerima honor yang jauh dari layak, bahkan kurang dari upah minimum. Misalnya, seorang guru PAI di pelosok Sulawesi yang hanya menerima gaji Rp500.000 per bulan, tentu akan merasa kesulitan untuk bertahan, apalagi berkembang secara profesional. Di sisi lain, penghargaan terhadap profesi guru PAI kerap tertinggal dibandingkan guru mapel lain, seolah-olah pendidikan agama tidak sepenting pelajaran eksakta atau bahasa.
Tantangan-tantangan ini perlu disikapi dengan serius oleh berbagai pihak baik pemerintah, lembaga pendidikan, maupun masyarakat. Karena ketika guru PAI dibiarkan berjuang sendiri tanpa dukungan memadai, maka cita-cita untuk membangun karakter bangsa yang religius, toleran, dan berintegritas pun menjadi semakin sulit diwujudkan.
3. Asta Protas Kemenag Berdampak: Ikhtiar Nyata Menjawab Tantangan Guru PAI
Dalam menghadapi berbagai tantangan yang dihadapi oleh guru Pendidikan Agama Islam (PAI), Kementerian Agama tidak tinggal diam. Melalui kebijakan strategis Asta Protas Kemenag Berdampak, pemerintah berusaha memberikan solusi konkret yang menyentuh langsung pada akar permasalahan di lapangan. Salah satu dari delapan program prioritas yang dicanangkan adalah program bertajuk “Mewujudkan Pendidikan Unggul, Ramah, dan Terintegrasi.”
Program ini bukan sekadar jargon, tetapi merupakan langkah progresif untuk membenahi sistem pendidikan agama secara menyeluruh. Tujuan utamanya adalah meningkatkan mutu pembelajaran agama Islam, baik dari sisi kompetensi guru, pendekatan kurikulum, hingga pemanfaatan teknologi. Melalui pelatihan yang dirancang sesuai kebutuhan era digital, guru PAI diberi ruang untuk mengembangkan kemampuan pedagogik, memahami dinamika sosial-keagamaan kekinian, dan menerapkan metode pembelajaran yang lebih kreatif serta relevan bagi generasi Z.29
Misalnya, pelatihan tentang penggunaan platform digital seperti Canva Edu, atau LMS berbasis madrasah memungkinkan guru menyampaikan materi fikih atau akidah secara lebih menarik dan interaktif. Tidak hanya itu, kurikulum yang inklusif juga dirancang agar siswa bisa belajar nilai-nilai toleransi, keberagaman, dan hidup berdampingan dengan damai dan semangat yang sangat dibutuhkan dalam masyarakat plural seperti Indonesia.
Program ini juga menekankan pentingnya suasana belajar yang ramah dan humanis. Guru PAI diajak untuk tidak hanya menjadi penyampai ilmu, tetapi juga sebagai pendidik yang mampu membimbing dengan empati, menjalin komunikasi hangat dengan siswa, serta menjadi teladan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan integrasi antara aspek spiritual, emosional, dan intelektual inilah, kualitas pendidikan agama diharapkan meningkat secara signifikan dan berdampak nyata bagi kehidupan siswa.
Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa pemerintah, melalui Kementerian Agama, berkomitmen kuat untuk tidak hanya memperbaiki sistem dari atas, tetapi juga menyentuh langsung kebutuhan para guru di kelas-kelas yang nyata termasuk di pelosok negeri.
Keberhasilan implementasi Asta Cita dan Asta Protas Kemenag Berdampak memerlukan kolaborasi antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat. Guru PAI perlu didukung dengan kebijakan yang berpihak, fasilitas yang memadai, serta lingkungan kerja yang kondusif. Dengan demikian, guru PAI dapat menjalankan peran guru secara optimal dalam membentuk generasi yang berkarakter dan berdaya saing tinggi.
Guru PAI merupakan ujung tombak dalam mewujudkan visi Indonesia Emas 2045 melalui pendidikan yang berkualitas dan berkarakter. Meskipun menghadapi berbagai tantangan, dukungan dari program-program pemerintah seperti Asta Protas Kemenag Berdampak dapat membantu mengatasi hambatan tersebut. Dengan sinergi yang kuat antara semua pihak, diharapkan guru PAI dapat berkontribusi secara maksimal dalam mencetak generasi penerus bangsa yang unggul dan berakhlak mulia.
DAFTAR PUSTAKA
1 Hasanuddin Ali, Potret Isu Anak Muda dan PTKIN, Lembaga Riset Alvara, 2023
2 Azyumardy Azra, Membebaskan Pendidikan Islam, (Jakarta, Kencana; 2000), h. 88
3Nola Ariesta Elvan, Duski Samad, Zulheldi, “Sejarah Pendidikan Islam Dari Klasik, Pertengahan, Dan
Modern,” QOUBA: Jurnal Pendidikan 1, no. 1 (2024): 294–304.
4Ibrahim Muchlis and Abd. Wahed, “Perkembangan Pendidikan Islam (Tradisi Dan Modernisasi),” Al
Ibrah 7, no. Vol 7 No 1 (2022) (2022): 4 (18), http://ejournal.stital.ac.id/index.php/alibrah.
5Nola Ariesta Elvan, Duski Samad, Zulheldi, “Sejarah Pendidikan Islam Dari Klasik, Pertengahan, Dan
Modern.”
6Bahaking Rama, “Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam Di Indonesia,” JURNAL PILAR: Jurnal
Kajian Islam Kontemporer 15, no. 1 (2024): 75–93.
7Muchlis and Wahed, “Perkembangan Pendidikan Islam (Tradisi Dan Modernisasi).”
8Samsuddin dan St. Johariyah, “Penguatan Materi Pendidikan Agama Islam Di Era Digital: Tantangan Dan
Peluang,” Journal of Gurutta Education (JGE) 3, no. 2 (2024): 50–57.
9
J. D. Smith, “Islamic Education in the Digital Age: Challenges and Opportunities,” Journal of Islamic
Studies 35, no. 2 (2022): 156–78.
10Musbaing, “Kompetensi Guru PAI Di Abad 21 : Tantangan Dan Peluang Dalam Pendidikan Berbasis
Teknologi Pendahuluan,” REFLEKSI: Jurnal Pendidikan 13, no. 2 (2024): 315–24.
11Azriana Boangmanalu, “Tantangan Dan Peluang Pendidikan Guru PAI Di Era Digital . Studi Kasus SMP
Negeri 2 Kerajaan,” Jurnal Kualitas Pendidikan 3, no. 1 (2025): 1–6.
12Sairul Basri Laili Zufiroh, “Tantangan Guru Pendidikan Agama Islam Dalam Menghadapi Era Society
5.0,” Jurnal An-Nur: Kajian Pendidikan Dan Ilmu Keislaman 9, no. 1 (2023): 75–89.
13Musbaing, “Kompetensi Guru PAI Di Abad 21 : Tantangan Dan Peluang Dalam Pendidikan Berbasis
Teknologi Pendahuluan.”
14Boangmanalu, “Tantangan Dan Peluang Pendidikan Guru PAI Di Era Digital . Studi Kasus SMP Negeri
2 Kerajaan.”
15Musbaing, “Kompetensi Guru PAI Di Abad 21 : Tantangan Dan Peluang Dalam Pendidikan Berbasis
Teknologi Pendahuluan.”
16Achmad Candra Wijasena, Mohammad Syahidul Haq, “Optimalisasi Sarana Prasarana Berbasis IT Sebagai Penunjang Pembelajaran Dalam Jaringan,” Jurnal Inspirasi Manajemen Pendidikan 09, no. 01 (2021):
240–55.
17Ananda Qomaruzzaman, “Artificial Intelligence Sebagai Asisten Guru Pendidikan Agama Islam Dalam
Pembelajaran,”Journal of Islamic Studies 5, no. 2 (2024): 788–99, https://doi.org/10.37274/mauriduna.v5i2.1282. 18Chien Chang Lin, Anna YQ Huang, Stephen JH Yang, “A Riview of AI-Driven Conversational Chatbots Implementation Methodologies and Challenges (1999-2022),” Sustainability (Switzerland) 15, no. 5 (2023). 19T Kristianti, “Implementasi Artificial Intelegence (AI) Dalam Dunia Pendidikan Di Era Society 5.0,” Prosiding Temu Ilmiah Nasional Guru XV Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan-Universitas Terbuka 15, no. 1 (2023): 145–55. 20Siti Hawa Lubis, Anri Naldi, Reskina Reskina, Adlan Fauzi Lubis, Nurhayati Nurhayati, “Inovasi Penggunaan Ai (Artificial Intelligenc) Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Di Man 4 Persiapan Kota Medan,” Jurnal Pendidikan Islam 4, no. 2 (2023): 105–29.
21Lilis Setiawati, Ferriza Nur Rofiqa Nasri, Ayu Rizki Amalia, “Implementasi Chat-Gpt Dalam
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam,” International Conference on Humanity Education and Sosial 2, no. 1
(2023): 11.
22Azie Ony Sapura, Hasan Basri, “Implementasi Penggunaan Artificial Intelligence Pada Pembelajaran Al
Islam Di Program Kelas Teknologi Digital,” TARLIM: Jurnal Pendidikan Agama Islam 7, no. 2 (2024): 179–88.
23Lilis Setiawati, Ferriza Nur Rofiqa Nasri, Ayu Rizki Amalia, “Implementasi Chat-Gpt Dalam
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam.”
24Wiwin Rif’atul Fauziyati, “Dampak Penggunaan Artificial Intelligence (Ai) Dalam Pembelajaran
Pendidikan Agama Islam,” Jurnal Riview Pendidikan Dan Pengajaran 6, no. 4 (2023): 2180–87.
25Miftahul Huda, Irwansyah Suwahyu, “Peran Artificial Intelligence (Ai) Dalam Pembelajaran Pendidikan
Agama Islam,” Referensi Islamika: Jurnal Studi Islam 2, No. 2 (2024): 53–61.
26Sri Rahmah Angkat, “Pendidikan Guru PAI Di Sekolah Dasar : Tantangan Dan Peluang Di Era Digital,”
ANALYSIS: Journal of Education 2, no. 2 (2024): 593–99.
27Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, “Asta Prioritas Kemenag Berdampak dan Trilogi
Menteri Agama untuk Indonesia Emas,” radenintan.ac.id, diakses 12 2025,
https://www.radenintan.ac.id/asta-prioritas-kemenag-berdampak-dan-trilogi-menteri-agama-untuk-indonesia
emas/?utm_source=chatgpt.com. Mei 28FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto, “Guru PAUD Menantikan Kebijakan yang Lebih Berpihak di Bawah Asta Cita Prabowo,” diakses 12 Mei 2025, https://fkip.ump.ac.id/index.php/2024/11/17/guru
paud-menantikan-kebijakan-yang-lebih-berpihak-di-bawah-asta-cita-prabowo/?utm_source=chatgpt.com.
29Kementerian Agama RI, “Kenalkan Asta Protas, Menag: Isinya Program Kemenag Berdampak,”
kemenag.go.id, diakses 12 Mei 2025, https://kemenag.go.id/pers-rilis/kenalkan-asta-protas-menag-isinya
program-kemenag-berdampak-bmU0u?utm_source=chatgpt.com.
DOWNLOAD PDF NASKAH PIDATO PENGUKUHAN DI BAWAH INI









Komentar