Oleh : Nasruddin,SM.,MM
OPINI – Aksi demonstrasi yang merebak di sejumlah daerah bukan hanya menyedot perhatian publik, tetapi juga menimbulkan serangkaian pertanyaan yang sulit diabaikan. Di balik teriakan massa dan kobaran api, terselip kejanggalan yang membuat banyak pengamat, akademisi, hingga masyarakat awam mengernyitkan dahi: apakah ini murni gerakan rakyat, atau sekadar panggung yang dimainkan elite politik?
Panggung Depan: Gedung DPR dan Markas Brimob yang “Terlalu Mudah” Ditembus
Dalam catatan sejarah politik Indonesia, Gedung DPR dan markas Brimob selalu digambarkan sebagai benteng terakhir negara. Namun kali ini, keduanya tampak begitu mudah dimasuki massa. Padahal, menurut UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, aparat memiliki kewajiban penuh melindungi objek vital negara.
Sejumlah akademisi mempertanyakan: apakah ini kelalaian, lemahnya koordinasi intelijen, atau justru pembiaran yang disengaja? Dalam teori konflik Lewis Coser, kondisi chaos bisa saja dimanfaatkan untuk menguatkan legitimasi pihak tertentu. Jika benar, maka “mudahnya” massa masuk ke dua lokasi vital bukanlah kebetulan, melainkan bagian dari skenario.
Api yang Menyala: Simbol Amarah atau Strategi Politik?
Pembakaran di titik-titik strategis memperkuat dugaan bahwa ada agenda tersembunyi. Api sering dipakai sebagai simbol resistensi rakyat, namun bisa juga menjadi instrumen provokasi untuk membenarkan tindakan represif. Teori Machiavelli mengajarkan bahwa kekacauan dapat menjadi alat kekuasaan: menciptakan musuh, lalu hadir sebagai penyelamat.
Narasi Anggota DPR: Kepolosan atau Sandiwara?
Pernyataan beberapa anggota DPR yang terkesan polos, bahkan tak pantas disampaikan di ruang publik, memperkeruh suasana. Dalam kerangka agenda setting theory, pernyataan pejabat publik bukanlah sekadar ekspresi pribadi, melainkan alat untuk mengarahkan persepsi massa. Apakah ini bagian dari komunikasi politik yang gagal, atau justru manuver terencana untuk menggiring opini?
Bayang-bayang Darurat Militer
Isu darurat militer semakin menguat. Pasal 12 UUD 1945 memberi Presiden wewenang untuk menetapkan keadaan bahaya, yang diatur lebih lanjut dalam UU No. 23 Tahun 1959. Namun, pertanyaannya: apakah situasi saat ini benar-benar memenuhi unsur hukum keadaan bahaya, ataukah justru diproduksi untuk melegitimasi langkah politik tertentu?
Sejumlah pengamat melihat pola klasik: menciptakan instabilitas, lalu menawarkan “penyelesaian” melalui langkah-langkah luar biasa.
Pertarungan Elite dan Rakyat dipersimpang Jalan
Dalam teori politik klasik, kekuasaan adalah arena perebutan yang tidak mengenal ruang hampa. Chaos bisa saja menjadi komoditas politik yang dipelihara, baik sebagai strategi pembersihan internal maupun sebagai cara menyingkirkan lawan.
Di tengah drama ini, rakyat kembali menjadi korban kebingungan. Dalam teori kontrak sosial Rousseau, negara dibentuk untuk melindungi rakyat, bukan memperalat mereka. Namun kenyataannya, rakyatlah yang harus menanggung dampak kerusuhan, kebingungan, dan ketidakpastian.
Penutup
Demonstrasi hari ini tampak lebih dari sekadar aksi protes. Ia adalah panggung depan dari drama politik yang tengah dimainkan di belakang layar. Siapa sutradaranya, kita belum tahu pasti. Namun, semakin banyak kejanggalan yang terjadi, semakin kuat dugaan bahwa rakyat sedang dijadikan pion dalam pertarungan elite dan menyaksikan drama politik yang dikemas dalam bentuk demonstrasi.









Komentar